Faire une Pause - Timeout - Rehat

The blog contains mainly my reading activity, -- in broader sense, it includes watching film for example -- experience and my personal appreciation on what I read. Basically, I will read books in one of the three (so far) languages: Indonesian, English, French, then I will write the comment on other language than the text I read, at least I'll try to do so.

o

Thursday, March 23, 2006

Salon du livre Paris 2006


Suasana Paris hari-hari itu cukup hangat, demonstrasi di beberapa petak kota menghiasi halaman surat kabar, dan para demonstran memenuhi beberapa metro menuju tempat rendezvous demonstrasi hari itu. Meski demikian, termometer tetap setia menunjukkan suhu sekitar tiga derajat celcius, tak terpengaruh surat kabar, televisi, dan para demonstran.

Ini kali kesekian kakiku dijejakkan di kapital Prancis ini. Kali pertama terkagum, kali kedua takjub, kali ketiga tak terlupakan, kali keempat terlupakan, kali kelima tak teringat. Tujuan utama sang ayah, dengan dua pendampingnya, istri dan anak, adalah mengunjungi salon du livre paris, pameran buku Paris.

Setelah dua hari tetap saja melakukan kunjungan sebagai wisatawan (wajib bagi orang yang tidak tinggal di Paris?) di hari ketiga kami bergerak menuju tujuan utama: porte de Versailles, tempat berlangsungnya pameran buku. Salon du livre Paris adalah kegiatan tahunan dan merupakan kegiatan terbesar dunia perbukuan Prancis. Beratus-ratus penerbit tampil menampilkan bukunya di sini, beratus penulis datang untuk menemui para pembacanya. Mulai dari selebritis, humoris, filsuf, presentator televisi, menteri, pemenang nobel, olahragawan, sampai sekedar penulis hadir menemui para pembacanya.

Sebutlah saja Lionel Jospin, mantan perdana menteri dan calon presiden Prancis 2002, Michelle Alliot-Marie menteri pertahanan Prancis, Patrick Poivre d'Avror pembaca berita paling ternama di Prancis, mantan petenis Yannick Noah, dan sejumlah nama lainnya. Dari sastrawan, yang lebih menarik buat kami, dapat disebut beberapa nama yang populer di Indonesia seperti Marc Levy (film yang diangkat dari bukunya Just Like Heaven sudah atau akan sampai di Indonesia) atau Tahar ben Jelloun, peraih Goncourt 1987 untuk La Nuit Sacrée Malam Keramat (YOI), Georges Chaulet, penulis serial anak-anak Fantomette, ataupun filsuf-selebritis Bernard-Henri Levy. Belum lagi sejumlah penulis yang cukup ternama dan karyanya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa tapi tak cukup populer di Indonesia seperti Amelie Nothomb (Antichrista), Jean Echenoz (Goncourt 1999, Je m'en vais atau I'm Gone), Laurent Gaudé (Goncourt 2004, Le soleil des Scorta atau The house of scorta), Bernard Werber (Empire of the ants), Lydie Salvayre, atau illustrator buku anak-anak Eve Tharlet (Davy). Ditambah lagi beberapa penulis lokal yang cukup sukses di dalam negeri seperti François Weyergans (Goncourt 2005), Guillaume Musso, Heddi Kadour, Pierre Peju, Alexandre Jardin, dan seterusnya dan seterusnya.

Tema pameran tahun ini adalah Francoffonie, yakni untuk menonjolkan peran para enulis yang menulis dalam bahasa Prancis, tapi tidak berkebangsaan Prancis. Kebanyakan dari mereka berasal dari Afrika, beberapa nama mungkin bisa dengan mudah kita kenal seperti Amin Maalouf atau Tahar ben Jelloun, tapi mereka sudah dianggap sangat Prancis. Ada beberapa penulis yang betul-betul bukan Prancis seperti Charif Majdalani (Lebanon), bukunya meraih sambutan luar biasa, Kossi Efoui(Togo), Ahmadou Kourouma (Pantai Gading) bukunya sudah diterjemahkan ke Inggris Allah doesn't have to, Alain Mabanckou, dan banyak lagi.

Saya sendiri menargetkan untuk dapat bertemu dan mendapat tanda tangan beberapa penulis, seperti Laurent Gaudé, Charles Dantzig, Majdalani, HeddiKadour, dan tentu saja Tahar ben Jelloun, dan kalau bisa Bernard-Henri Levy. Sementara istri saya menargetkan Marc Levy, Amelie Nothomb, Georges Chaulet, Guillaume Musso, dan Francois Weyergans. Tak ketinggalan, kami merencanakan untuk bertemu dengan Eve Tharlet, ilustrator buku anak-anak kegemaran anak saya.

Tak semua dapat kami temui, karena antrian setiap orang panjang, karena penulisnya terlambat datang, atau karena anak kami yang mulai bosan. Untungnya, beberapa penulis tetap dapat kami temui.

Pertama-tama Laurent Gaudé, di stand Actes-Sud. Peraih Goncourt 2004 yang satu ini ternyata masih cukup muda dan simpatik. Antrean untuk meminta tanda tangannya cukup panjang. Seorang pengantri yang tepat berada di belakang saya berasal dari Jerman dan mengeluarkan buku versi Jerman The house of Scorta. Cerita novel ini sendiri sebenarnya bukan tipikal novel Prancis, karena mengambil tema drama keluarga, tema yang jarang diangkat. Setelah sekitar 10 menit antre, akhirnya saya menemuinya. Saya ambil bukunya, berbincang sedikit saja. Untuk siapa, untuk anwar a-n-w-a-r, lalu ditulisinya buku yang saya ambil itu dan ditulisi: dengan kata-kata yang paling tersinari mathari, selamat membaca.



Penulis kedua yang kami kunjungi seharusnya Dantzig, ia menulis sebuah buku panduan egois literatur Prancis yang menampilkan sejarah sastra Prancis, tapi dari sudut pandang murni seorang Dantzig, tidak objektif, sangat subjektif: egois. Untuk bukunya ini ia memperoleh penghargaan non-fiksi terbaik. Tapi saya berubah pikiran, tidak ah, yang lain saja. Istri saya melihat si cantik eksentrik Amelie Nothomb yang hari itu berbaju hitam, berlipstik merah yang dapat terlihat dari jarak lima ratus meter, dan bertopi hitam besar. Tapi, dia juga membatalkan niatannya untuk menemuinya, antrean untuk penulis yang satu itu terlalu panjang, dan kabarnya banyak yang sudah menunggu sejak dua jam yang lalu, ah sudahlah, batalkan saja. Semua diperburuk dengan tidak jalannya kartu kredit istri saya, sehingga kami tak bisa melakukan perburuan secara paralel: hanya ada satu kartu kredit yang bisa digunakan untuk beli buku...

Akhirnya, Guillaume Musso lah yang kami kunjungi. Tak terlalu banyak orang mengelilingi penulis best-seller yang satu ini. Saya tak terlalu mengenalnya, tapi istri saya adalah penggemar beratnya. Guillaume Musso berusia muda, tigapuluh lima-an, tapi karyanya entah mengapa dapat menjadi best-seller. Buatnya, seperti pesan yang ditulisnya di buku terbarunya, membaca haruslah kegiatan plaisir, kegiatan yang menyenangkan. Sudah baca buku saya, tanyanya pada istri saya, ya sudah, sudah dua. Yang pertama bagus, yang kedua kurang bagus, agak berbeda konfliknya. Ah, tidak, tidak seperti itu, yang kedua sebenarnya tidak beda.



Francois Weyergans adalah penulis peraih Goncourt 2005. Karyanya sering lebih merupakan autobiografi, tokoh utamanya sering kali seorang penulis novel atau skenario film (dia sendiri). Bukunya yang meraih Goncourt terbaru juga bercerita seorang penulis yang tak dapat memulai penulisannya. Sang penulis yang tak dapat memulai tulisannya itu ingin menulis novel berjudul "Tiga hari di rumah ibuku", yang akhirnya diangkat oleh Weyergans untuk menjadi judul novelnya. Dia terlambat. Kapan datang, tanya beberapa orang pada orang dari penerbit Grasset. Sebentar lagi, dalam perjalanan. Setelah terlambat hampir dua puluh menit dan mengakumulasi jumlah pengantre yang panjang, akhirnya dia datang. Bapak yang satu itu sudah cukup berumur, 66 tahun, dengan satu gelas champagne dia melayani para pembacanya. Ada seorang yang datang dengan membawa buku tua karyanya dua puluh tahun yang lalu, ada bapak-bapak yang membawa fotonya, ada mahasiswa yang tengah membuat tesis tentangnya, ada istri saya. Alfi, apa itu artinya, tanyanya. Seribu jawabnya. Agak terkejut karena Alfi, istri saya, mengambil buku yang ia tulis tahun 1992, dia bertanya kok buku itu. Ya, yang terbaru sudah saya baca. Sang penulis agak terkejut (kenapa ya? karena orang asing?) lalu menuliskan sedikit tentang buku itu di buku tersebut, kemudian ditandatanganinya. Sampai sekarang kami masih melakukan penelitian mendalam tentang apa yang sebenarnya ditulisnya di buku itu. Tak mungkin semua itu tanda tangannya kan? tanya saya dengan bergurau.





Eve Tharlet. Ilustrator buku anak-anak menjadi penulis berikutnya yang kami kunjungi. Kami sudah mengunjunginya di sebuah pameran buku lokal di Selatan sini tahun 2005 yang lalu. Giliran anak saya, empat tahun, yang berbicara banyak. Siapa nama kamu. Fatheen. Ef-a-te-ash-e-e-n. Begini menulisnya, katanya sambil memeragakan menulis F huruf sambung. Seperti terakhir kali, Eve Tharlet berlama-lama dan menggambarkan Davy di buku yang kami beli dengan berbekal pensil, spidol, dan cat air.

Marc Levy tak kami kunjungi. Lagi-lagi karena antrean yang cukup panjang. Satu lagi penulis buku anak-anak yang kami datangi. Namanya Eric Puybaret. Anak saya memilih buku berjudul Angéle au bout de la nuit. Ah, seperti judul roman legendaris Louis-Ferdinand Céline Voyage au bout de la nuit.

Hedi Kaddour. Penulis yang satu ini juga penyair dan sejarawan. Buku Weltenbergnya mendapat sambutan yang luar biasa. Novel ini adalah novel sejarah menceritakan sejarah satu abad Prancis abad XX, tapi di dalam novel ini kita dibawa berjalan-jalan sampai ke Singapura. Novel ini disebut-sebut sebagai novel yang dinanti-nanti oleh banyak orang, karena hampir tak ada novel sejarah yang begitu ambisius sebelumnya. Luar biasanya lagi, Weltenberg adalah novel pertama Kaddour! Anwar? Bisa berbahasa Arab? Ah, tidak. Nama saya Arab, tapi tidak bisa berbahasa Arab. Aah, Anda dari mana? Dari Indonesia (Kenapa dia bertanya seperti itu,ya? Apa dia Arab? Ah, Kaddour mungkin nama Arab). Begitulah, dituliskannya "Selamat membaca untuk Anwar. Novel ini kisah yang membentang selama satu abad".



Istri saya menemui Georges Chaulet, penulis Fantomette. Istri saya telah membaca Fantomette sejak dia masih kecil, di Solo. Dia lebih memilih untuk bertemu Chaulet ketimbang Levy, meski antreannya cukup panjang, dan setiap pengantre datang dengan lima-enam buku untuk ditandatangani. Ini buku Fantomette saya pertama, kata istri saya dengan sedikit jeda sehingga menimbulkan keterkejutan Chaulet, dalam bahasa Prancis lanjutnya, dan keterkejutannya hilang seketika. Ah, dalam bahasa apa sebelumnya? Indonesia. Aaah, jawabnya lagi, sambil menuliskan "Untuk Alfi. Dengan seluruh simpatiku".



Anak kami dan saya memilih untuk menanti istri saya melakukan antrean panjang itu di kantin pameran. Di seputar kantin, terdapatlah stand penerbit-penerbit luar negeri. Ada di sana tentu saja negara-negara berbahasa Prancis seperti Maroko, Aljazair, dan Tunisia, tapi ada juga Lebanon, Yunani, dan Jerman.

Agak mengejutkan karena saya tak dapat menemukan Spanyol dan Italia. Sementara itu dari Asia ada Jepang, China, dan Korea. Yang terakhir ini memang dikenal sangat rajin dan pengonsumsi buku Prancis yang cukup setia.

Sebelum ke kantin, saya sempat mampir ke stand Les Editions de Minuit dan membaca "Jean Echenoz akanhadir tanggal 22 jam 19.00". Ah, kecewanya saya. Mereka tak mengumumkan itu jauh-jauh hari sebelumnya. Seandainya mereka mengumumkan itu jauh hari sebelumnya, pasti saya akan datang, karena penulis yang satu itu tak mungkin kami lewatkan. Ah, sayang sekali...

Masih ada satu lagi penulis yang akan kami kunjungi. Tahar ben Jelloun, untuk buku terbarunya Partir. Ia dijadwalkan untuk memberi tanda tangan mulai pukul 17.30. Anwar. A-en-double v-a-r. Begitu jawab saya. Ah, Anwar, dari mana asal? Indonesia (Mungkin dia bertanya seperti itu, karena dalam bahasa Prancis, nama Anwar sering ditulis Annouar). Ah, saya pernah berkunjung ke Indonesia, dan sangat berkesan. O,ya. Ya, jawabnya, sambil menandatangani buku itu dengan tulisan "untuk Anwar dan untuk kenangan selama saya di Indonesia". Kemudian, saya menyodorkan buku kedua. Ah, beli dua, bagus itu, katanya. Ya, yang ini untuk seorang teman. Siapa namanya? Saya menyebutkan nama rekan itu sambil mengoreksi penulisan ben Jelloun yang salah, yang menulis nama rekan saya itu seketika dalam huruf Arab, karena namanya memang bisa dieja dengan huruf Arab, sibuk rupanya bapak yang satu ini (sayangnya, tetap saja nama itu salah dieja oleh beliau, yah sudahlah, dia terlihat terburu-buru).




Sembari pulang, kami lewat di stand Grasset, banyak orang berkumpul, dan sepertinya petugas keamanan cukup repot mengendalikan para pengunjung. Siapakah gerangan? Ah, Bernard-Henri Levy yang datang untuk memberi tanda tangan untuk bukunya yang terbaru. Ah, filsuf yang satu itu..., filsuf dan selebritis, pasti sulit menggabungkan keduanya, ya. Saya pun berusaha mendekat dan berusaha mengambil fotonya, tapi tak tertarik untuk melakukan antrean seperti yang lain.



Selesai sudah hari itu. Mungkin tahun depan kami akan datang lagi, dengan persiapan yang lebih baik, sehingga bisa mengobrol dengan para penulis yang
terlihat sangat ramah-ramah dan siap berbincang-bincang itu. Sedikit menyesal soal Jean Echenoz dan kartu kredit yang rusak, tapi lumayan, untuk kunjungan pertama, kami sepakat, cukup berhasil.

Di stasiun metro, polisi berjaga-jaga. Mereka membatasi jumlah orang yang dapat mengakses daerah tunggu metro. Orang terlalu banyak, dan sangat
berbahaya untuk mengizinkan semua orang mengakses daerah itu. Dan kamipun menunggu, ah, luar biasa sambutan para pembaca untuk acara ini...


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Tuesday, March 21, 2006

Ravel, Jean Echenoz

[Ravel, novel Jean Echenoz, 124 halaman, Januari 2006, diterbitkan oleh Les editions de minuit]

Novel ini, Ravel, adalah novel ketiga Jean Echenoz yang saya baca, dan yang muncul di blog ini. Dua sebelumnya, sebagai pengingat adalah Les Grandes blondes, dan Je m'en vais. Sayang Les Editions de Minuit, penerbitnya agak terlambat memberi tahu bahwa Echenoz hadir dalam Salon du Livre Paris kemarin, akibatnya saya tak bisa menemuinya. Padahal, seandainya mereka memberi tahu lebih awal, kami akan menyesuaikan jadwal kunjungan kami ke sana. Ya, tak apalah. Mungkin di lain kesempatan kami bisa menemuinya.

Ravel adalah sebuah fiksi yang terinspirasi dari tahun-tahun terakhir kehidupan pemusik Maurice Ravel (1875-1937) . Jadi, bukan biografi, ini fiksi. Echenoz memilih beberapa bagian dari kehidupan sang pemusik, merinci-rincikannya, dan kemudian meramunya menjadi novel dengan gaya khas Echenoz yang akan segera kita kenali.

Membaca Ravel pembaca diajak berjalan-jalan berkeliling Amerika Serikat di mana Ravel melakukan seri konser. Diceritakanlah perjalanannya di atas kapal pesiar France, kebosanan yang dia alami selama perjalanan dari Le Havre mampir ke Southampton untuk kemudian ke New York. Diceritakan pula bagasi yang dia bawa untuk perjalanan yang satu ini, kegiatannya membaca Conrad di dalam kapal, dan juga ketidaksukaannya memainkan piano (dia lebih suka mencipta komposisi, bukan memainkan). Selama di Amerika Serikat, Ravel memperoleh sambutan yang luar biasa dari satu kota ke kota lain, dia sedang berada di puncak karirnya.

Kemudian, sebuah cerita menarik tentang interaksinya -- sama sekali tidak menyenangkan -- dengan Paul Wittgenstein, seorang musisi, pianis, yang untuknya Ravel mencipta sebuah komposisi.

Novel ini lebih Je m'en vais dari pada Les Grandes blondes bila kita melihat dari kepahitan ceritanya, dari kebosanan eternal seorang laki-laki, kebosanan Ravel di sini, kebosanan Ferrer di Je m'en vais. Namun, dari sisi diksi, novel ini lebih Les Grandes blondes ketimbang Je m'en vais, karena pilihan kata Echenoz lebih sederhana di sini. Namun, tak seperti kedua novel itu, di sini Echenoz meninggalkan narator orang pertamanya, dan secara konstan menggunakan narator orang ketiga non partisipan.

Tapi, semua itu kontras dengan bagian akhir novel yang menceritakan keadaan kesehatannya di akhir hidupnya. Serba muram, dan sangat menyakitkan untuk dibaca. Sementara itu sepanjang novel hawa kesepian seorang Ravel sangat menyengat.

***

Tak lengkap untuk menceritakan sebuah novel Jean Echenoz tanpa menceritakan gayanya. Seperti yang saya sebut di atas, di novel ini dia tidak menggunakan narator aku nya yang suka muncul begitu saja. Tapi tetap saja, gaya khas penuh humor dan kejutan a la Echenoz sangat kental. Lihat bagaimana dia menceritakan bagaimana Ravel mengalami kesulitan tidur dan teknik-teknik yang digunakannya untuk dapat tidur: teknik-teknik untuk tidur yang digunakan muncul tersebar di beberapa bab buku ini, menimbulkan senyuman -- meski sering pahit -- pembacanya. Tapi, seperti di Les grandes blondes, narator berkali-kali menyapa pembacanya secara langsung. Lalu, sang narator juga memroklamirkan diri sebagai narator yang tak dapat dipercaya, dengan misalnya bertutur Sepertinya, dia mendengar seorang operator radiotelegram menyiulkan Bolero -- yang satu ini kita tidak harus percaya. Kocak, bukan?

Tapi, secara keseluruhan, novel ini agak pahit untuk dibaca, agak menyakitkan menyaksikan kesepian seorang genius macam Ravel, agak sakit menyaksikan akhir hidup yang tak menyenangkan ...

***

Saya beli buku ini di Carrefour Antibes, awalnya saya berniat beli di salon du livre Paris, tapi akhirnya beli di Carrefour, terkagum-kagum oleh posisinya sebagai salah satu best-seller saat itu. Tapi memang, Ravel bukanlah novel yang benar-benar berat, dapat dibaca dengan nyaman dan lancar: ada tema, plot, karakter, meski tak kuat. Karena yang kuat di Echenoz adalah gaya.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Sunday, March 19, 2006

Moderato Cantabile, Marguerite Duras

[Moderato Cantabile, sebuah novel Marguerite Duras, diterbitkan pertama kali oleh Les Editions de Minuit tahun 1958. 155 halaman, 8 bab. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Apsanti Djokosujatno, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, 1999]

Tema Moderato Cantabile adalah kehidupan seorang perempuan borjouis yang tidak merasa nyaman dengan lingkungan hidupnya, juga dengan suaminya, tapi tak dapat melarikan diri dari semuanya itu. Perempuan itu bernama Anne Desbaresdes, seorang istri dan seorang ibu dari seorang anak lelaki anonim.

Novel ini dimulai dari sebuah kursus piano yang diberikan oleh Mademoiselle Giraud kepada si anak lelaki Madame Desbaresdes. Sejak adegan pertama ini, pembaca akan dikenalkan pada karakter Anne Desbaresdes, yang tertekan, tak banyak bicara, dan sering menemukan alat bicaranya pada anaknya, yang lelaki. Dengan anak lelakinya pula, Anne menemukan kebebasan saat membawanya berjalan-jalan, meninggalkan rumah besarnya yang indah. Kemudian, kita akan segera disuguhi oleh sebuah adegan pembunuhan di kafé yang terletak tak jauh dari tempat kursus piano. Kafé ini kemudian menjadi tempat pembebasannya lagi, saat dia bertemu dengan seorang lelaki bernama Chauvin, yang kemudian menjadi teman berbicaranya setiap kali ia mengunjungi kafé itu.

Percakapan demi percakapan antar Anne dan Chauvin, terseling anggur yang dikonsumsi Anne Desbaresdes untuk membangkitkan kemampuannya berbicara, membentuk novel ini. Percakapan-percakapan yang menarik, disajikan oleh Duras secara efektif, berhasil membangun suasana, dibantu oleh bolak dan baliknya para pengunjung kafé yang lain, agak repetitif tapi membentuk musikalitasnya tersendiri. Asyik.

Kita juga akan diajak melihat ke dalam lingkungan borjuasi Anne Desbaresdes. Bagaimana makan malam di rumahnya menjadi sesuatu yang sangat mengukungnya, menyulitkannya, yang tak dapat dikonsumsinya, yang ingin dimuntahkannya, yang akhirnya dimuntahkannya, bersama dengan keinginannya memuntahkan seluruh hidupnya yang tak lagi dapat dinikmatinya.

Semua itu disajikan dengan beberapa adegan repetitif. Saya telah menyebut bolak dan baliknya pengunjung kafé. Ada pula tenggelamnya matahari yang disampaikan secara repetitif, pergerakan kapal di pelabuhan yang tak jauh dari kafé yang juga repetitif, seolah Duras hendak menceritakan sesuatu dengan bernyanyi di mana beberapa nada muncul dan muncul lagi. Menarik.

Bila saya harus menyebutkan satu hal yang paling menarik semasa pembacaan dan sesudah pembacaan Moderato Cantabile, maka hal tersebut adalah keefektifan penceritaan. Novel yang hanya bertebal 155 halaman ini luar biasa efektif. Dia sangat efektif dalam pembentukan karakter, deskripsi, penokohan, dan penyampaian tema. Mungkin hampir tak ada plot, tak terlalu cepat, moderato, dan dapat dinyanyikan dengan enak, cantabile.

Tapi, hati-hati. Tak mudah membaca novel ini. Karena keefektifannya itu, sering kali saya dibuat tersesat oleh dialog-dialog dalam novel, berulang kali membaca beberapa bagian untuk membentuk konteks dialog-dialog tersebut. Tapi, di sanalah saya menemukan keindahan novel ini.

***

Novel ini saya baca selama perjalanan dari Cannes ke Paris dan selama beberapa hari di Paris, akhir pekan ini. Karena kesulitan memahami novel ini pada pembacaan pertama, saya dipaksa untuk membacanya ulang, dan pada pembacaan kedua inilah banyak bagian yang tak terpahami di pembacaan awal muncul lebih jelas.

Sulit bagi saya membayangkan bagaimana buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Konteks dialog yang sering didapatkan dari penggunaan kata il dan elle (dia untuk laki-laki dan perempuan) mungkin agak hilang begitu ia diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang hanya mengenal dia tanpa jenis kelamin. Ingin sekali membaca terjemahannya..


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Monday, March 13, 2006

Surat untuk ayah, Franz Kafka

[Buku ini berjudul Lettre au père atau Surat untuk Ayah, diterbitkan oleh Gallimard edisi Folio, tebal 99 halaman, 2002. Diterjemahkan dari Jerman Brief An Den Vater ke Prancis oleh Marthe Robert, Pertama kali diterbitkan di Prancis tahun 1957]

Setelah membaca Metamorfosis (1913), seorang rekan menyarankan saya agar membaca Surat untuk Ayah. Bila di Metamorfosis digambarkan seorang yang selalu dalam perjalanan tugas berubah menjadi seekor serangga besar yang menakutkan, dibuang oleh masyarakat sekitar, dan ditolak oleh keluarganya, maka di Surat untuk Ayah ini kita dapatkan seorang yang selalu takut pada ayahnya yang totaliter. Dalam Surat untuk Ayah ini kita disajikan konteks yang melingkupi Metamorfosis: seorang yang merasa tak diinginkan oleh sang ayah yang tak henti-hentinya berlaku sinis terhadap anaknya, Franz Kafka.

Dari kalimat-kalimat pertama surat ini dapat segera kita rasakan nada surat ini:

Belakangan ini Kau pernah menanyakan mengapa saya selalu takut padamu. Seperti biasa, aku sama sekali tak mampu menjawabmu, sebagian karena rasa takut yang kau ciptakan untukku, sebagian karena penyebab rasa takut ini terdiri dari banyak hal rinci yang tak dapat disampaikan secara lisan dengan koheren. Dan, jika saat ini saya berusaha untuk menjawabnya lewat tulisan, tetap saja tidak akan lengkap, ...

(Tu m'as demandé récemment pourquoi je prétends avoir peur de toi. Comme d'habitude, je n'ai rien su te repondre, en partie justement à cause de la peur que tu m'inspires, en partie parce que la motivation de cette peur comporte trop de détails pour pouvoir être exposée oralement avec une certaine cohérence Et si j'essai maintenant de te répondrepar écrit, ce ne sera encore que de façon très incomplète ...)

Di dalam surat ini Franz Kafka menjelaskan beberapa rincian cara pendidikan ayahnya yang menurutnya sangat tidak menyenangkan. Mulai dari cara makan di meja makan, saat berjalan-jalan, sampai pendidikan agama Yahudi dan pernikahan. Semua dibahas satu demi satu, untuk menjawab pertanyaan mengapa ia takut pada ayahnya.

Surat yang menarik, disampaikan dengan nada yang luar biasa murung. Menarik untuk dibaca, sebaiknya dibaca sebelum membaca Metamorfosis. Mungkin suatu saat saya bakal baca ulang Metamorfosis.



Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Wednesday, March 01, 2006

Mars, demandez le programme

March. As usual I will start with an event in the literature universe. March is the month where Nancy, a black servant working for Temple Drake in Requiem for a nun was hung in Yoknapatawpha County.

It was a little bit disorder last month. Only two novels of five planned were finally read. Fuir, Les amants de spoutnik, and La Métamorphose were not planned at the beginning of the month. That made Les Miserables, Saturday, Trois jours chez ma mére, not to mention Plot against america remained untouched.

Well, hopefully I plan better for March. OK, here they are. The priority will go to Les Miserables and Saturday. I have to finish them this month. A small novel may interrupt them though, Moderato Cantabile of Marguerite Duras or (it is not a novel, it is a letter) Lettre au père of Kafka. Then, I have to finish Trois jours chez ma mère of François Weyergans. To be honest, Ravel of Jean Echenoz might come before Trois jours chez ma mère.

Well, that's already six. Maybe there will be another book to be read. I think of The Kite Runner, Kafka sur le rivage (Kafka on the shore) of Haruki Murakami, On the road of Jack Kerouac, Partir of Ben Jelloun, Mon nom est rouge of Orhan Pamuk, or The Plot Against America of Philiph Roth, or something completely unpredictable, like happened quite often.

Finally, there might be one or two reports interesting from Paris. Yes, we will travel to Paris this month.

OK. Enjoy.


Read more/ Suite / Selengkapnya!