Faire une Pause - Timeout - Rehat

The blog contains mainly my reading activity, -- in broader sense, it includes watching film for example -- experience and my personal appreciation on what I read. Basically, I will read books in one of the three (so far) languages: Indonesian, English, French, then I will write the comment on other language than the text I read, at least I'll try to do so.

o

Thursday, December 29, 2005

Asiles de fous, Régis Jauffret: Mendung


[Asiles de Fous, Régis Jauffret. Gallimard, 2005. French. 211 pages]

Damien, seorang laki-laki berusia tiga puluh satu tahun,bekerja di sebuah perusahaan di Paris, sering bepergian ke kantor pusatnya di Toulouse, anak dari pasangan bourgeois yang tinggal di Versailles, menurut ibunya bertinggi 184 cm.

Gisèle, perempuan, 29 tahun, pengangguran, berlatar belakang pendidikan sastra, meski tak berhasil meraih diploma, pasangan hidup Damien.

Joseph, atau François (tergantung sudut pandang) Verdery, insinyur pensiunan, enampuluh tahunan, tukang ledeng amatir, belum pernah menginstall westafel, ayah Damien Verdery, 178 cm menurut istrinya.

Solange Verdery, istri Joseph Verdery (atau François Verdery menurut sudut pandang Gisèle), orang tuanya berasal dari Bretagne, menurutnya ia bertinggi 163 cm.

***

15 Oktober 2004.

Damien berangkat kerja, seperti hari-hari lainnya. Seringkali ia harus terbang dari Paris ke Toulouse untuk pekerjaannya, dan kembali malam hari yang sama. Seperti hari itu, jumat 15 Oktober 2004 , ia harus terbang ke Toulouse. Pagi itu, sama seperti hari lainnya, percakapan sepertinya berlangsung normal (paling tidak begitulah yang diceritakan salah satu narator Gisèle, yang pagi itu menggunakan haknya sebagai narator).

(halaman 30)
Ia mengatakan bahwa ia mulai bosan dengan bolak-balik dengan pesawat mingguannya. -- Saya bahkan tak bisa meluruskan kaki saya, saya takut sekali dengan lubang udara -- Sabtu, kita jogging di bois de Vincennes. -- Saya sudah janji dengan seorang teman mengganti ban motornya -- Kamu tidak akan menghabiskan satu hari penuh dengannya kan? -- Sabtu masih jauh -- Bila saya cukup berani, saya akan mengecat meja dapur
Tak lama setelah Damien meninggalkan Gisèle di apartemennya, François datang ke apartemen mereka dengan membawa westafel baru. Ia akan mengganti westafel tua yang mereka miliki dengan westafel yang baru ini.

Ternyata, François datang dikirim oleh Damien untuk mengumumkan bahwa ia memutuskan untuk meninggalkan Gisèle. Ia juga datang, selain untuk mengganti westafel yang dikirim sebagai kado perpisahan, untuk mengangkut seluruh barang Damien, termasuk sebotol anggur yang ia hadiahkan untuk Damien. Ia mengangkat lemari, komputer, tirai, meja, semua. Tak lupa, ia meninggalkan pakaian Gisèle, dan harddisk komputer agar Gisèle bisa menggunakan file-file di dalamnya. Akhirnya, ia meminta Gisèle membantunya menurunkan lemari yang ia bawa pulang.

***

Kedua orang tua Damien mendukung sepenuhnya keputusan Damien meninggalkan Gisèle, bahkan sang ayah rela dikirim oleh sang anak untuk mengumumkan perpisahannya itu. Tak hanya itu, meski pengumuman dan penarikan barang-barang Damien dilakukan secara brutal, kedua orang tua Damien tetap saja merasa bahwa Gisèle tidak saja seharusnya membantu Joseph menurunkan lemari tanpa ribut-ribut, ia juga seharusnya berterima kasih pada kedua orang tua itu.

***

Novel ini adalah novel satirik disampaikan dengan humor satirik. Seperti karya Régis Jauffret lainnya (univers, univers yang juga sudah dimuat di blog ini), pilihan kata disampaikan secara puitis, meski isinya penuh kekerasan. Untuk menghayati keindahan, dan kesinisan novel ini mau tak mau harus di'ucap'kan. Tanda baca seperti koma dan titik digunakan untuk membantu pengucapan, tidak semata-mata untuk membangun kalimat.

Seperti karya Régis Jauffret lainnya, lagi-lagi ia mengangkat seorang wanita biasa sebagai protagonis, dan selalu penuh kemurungan. Humor-humor yang disampaikan di sana sini semakin mengentalkan kemurungan, karena humor-humor itu penuh kesinisan.

Di tangan penulis lain, plot dan karakter novel ini mungkin akan biasa-biasa saja. Tapi, keunikan Régis Jauffret membuatnya menjadi lebih dari biasa.

Novel ini meraih penghargaan Femina 2005. Saya cukup suka dengan gaya Régis Jauffret dalam novel ini.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Tuesday, December 27, 2005

Sanctuary, William Faulkner


[Sanctuary, William Faulkner 336 halaman. Vintage UK, desember 1993. Diterbitkan untuk pertama kali 1932]

Sanctuary adalah novel yang sengaja ditulis Faulkner untuk dijual. Ia merasa kecewa dengan penjualan buku-bukunya terdahulu, dan akhirnya berusaha menulis dengan mempertimbangkan unsur selera pembaca dalam karyanya.

I begin to think of books in terms of possible money. I decided I must just as well make some of it myself. I took a little time out, and speculated what a person in Mississippi would believe to be current trends, chose what I thought was the right answer and invented the most horrific tale I could imagine....
(dikutip dari editor's note)


Sanctuary ini kemudian dikirim ke penerbit untuk pertama kali tahun 1929. Karena unsur seks dan kekerasan yang kental di dalam buku ini, penerbitnya (Random House?) menolak. Setelah itu, Sanctuary hampir terlupakan, sampai beberapa tahun kemudian, ketika Faulkner diminta untuk menulis kembali beberapa bagian dalam novelnya. Kemudian diterbitkanlah novel ini.

***

Novel ini bercerita tentang Temple Drake, seorang gadis berusia tujuh belas tahun, anak seorang hakim. Meski demikian, saya tidak yakin Temple mendapat tempat terbanyak di dalam novel ini. Horace Benbow mungkin mendapat tempat yang lebih banyak.

Cerita dimulai dengan kemunculan Popeye dan Horace Benbow, seorang pengacara di Memphis, di sebuah sumber air. Popeye kemudian membawa Benbow ke sebuah tempat bernama Old French, yang dibangun sebelum awal perang sipil. Tempat itu sekarang dimiliki dan ditempati oleh Lee Goodwin. Di sana, Lee Goldwin memroduksi whisky secara ilegal. Di
Old French ini, Benbow bertemu dengan beberapa orang-orang yang tinggal di sana, Ruby seorang perempuan dengan seorang anak kecil, Pap seorang tua bisu dan buta, Tommy seorang yang terkesan simpatik tapi agak lamban dalam berpikir, dan Popeye sendiri.

Suatu hari di bulan Mei, Temple hendak pergi ke Starkville. Kekasihnya, Gowan Stevens, berjanji hendak mengantarnya ke stasiun kereta api. Namun, karena Gowan begitu mabuk malam sebelumnya, ia terlambat. Ia kemudian berniat membawa Temple dengan mobilnya sendiri ke Starkville. Dalam perjalanan, Gowan bermaksud untuk berhenti di kediaman Lee Goodwin untuk membeli beberapa botol whisky.

Karena mabuk, tak jauh dari tujuan, ia mengalami kecelakaan mobil. Popeye bersama Tommy kemudian membawa Gowan dan Temple ke kediaman Goldwin. Di sana, Temple diperingatkan oleh Ruby, yang kemudian kita kenal sebagai Madame Goodwin, bahwa tempat itu bukanlah tempat untuk seorang gadis muda seperti Temple. Ia menyarankan agar Temple dan Gowan secepatnya menemukan mobil lain dan meninggalkan tempat itu. Namun, Gowan terlanjur kembali mabuk bersama Van, seorang teman Popeye, dan tak mungkin meninggalkan tempat itu.

Malam pun turun. Temple tidur di sebuah ruangan tak bercahaya dan tak berkunci. Gowan kemudian menyusul ke kamar itu dalam keadaan mabuk dan terluka setelah bertengkar dengan Van. Tommy ia minta untuk mengawasi agar tak seorangpun masuk ke kamar itu.
Kemudian, terjadilah kejadian-kejadian yang tidak jelas dan penuh metafor. Satu hal yang dapat kita ketahui hanyalah bahwa Temple diperkosa oleh Popeye malam itu. Lalu, entah kapan dan dalam konteks apa, Tommy tewas ditembak oleh seseorang.

Goodwin kemudian memanggil sheriff untuk melaporkan pembunuhan Tommy, namun sheriff kemudian menjebloskan Goodwin ke penjara. Temple sendiri dibawa pergi oleh Popeye.

Horace Benbow kemudian memutuskan untuk menjadi pengacara Goodwin karena ia yakin bahwa Goodwin bukanlah pembunuh Tommy.

***

Novel ini tidak mudah untuk dimengerti. Beberapa bagian terbaca begitu membingungkan dan butuh beberapa lama untuk dapat dimengeri. Beberapa bagian saya baca dua-tiga kali karena merasa ada bagian yang hilang. Saya sendiri sampai sekarang tidak yakin di dalam beberapa hal. Mungkin butuh pembacaan ulang menyeluruh untuk yakin sepenuhnya mengenai kejadian demi kejadian di dalam novel ini.

Seperti ciri Faulkner, novel inipun disampaikan dalam urutan waktu yang tidak urut, meski demikian, urutan waktu ini tidaklah sampai menyulitkan pembaca.

Deskripsi-deskripsi di dalam novel ini disajikan dengan begitu khas, dan di banyak tempat sangat menyulitkan saya karena pilihan kata yang sulit.

Karakter Temple Drake muncul kembali dalam novel Faulkner lain, Requiem for a nun, novel berikut yang akan saya baca, dan bulan Januari nanti akan dipentaskan di Theatre National de Nice.

Sanctuary diterjemahkan dalam bahasa Prancis, Sanctuaire, dan menjadi novel pertama Faulkner yang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Monday, December 19, 2005

Snow, Orhan Pamuk



[Snow (2004). A novel by Orhan Pamuk. Translated to English by Maureen Freely from Turkish Kar. Published for the first time in Istanbul 2002. 44 chapters and 436 pages]

***

Turki adalah negara yang menarik. Ia terletak di perbatasan antara Eropa dan Asia. Ini menyebabkan kebudayaan mereka begitu bercampur dan kaya. Kemal Ataturk berusaha menjadikannya Eropa, namun tidak semudah itu . Sampai sekarang, Turki tidaklah benar-benar menjadi Eropa yang sekular, tapi tak pula menjadi negara penting di dunia Islam. Ia ingin menjadi negara demokrasi, tapi pengaruh militer masih terasa kuat, dan dalam beberapa hal Eropa tidaklah terlalu terganggu dengan militer Turki. Yang penting bagi Eropa adalah Turki harus dilindungi dari Islam radikal, apapun itu artinya. Kontradiksi-kontradiksi kemudian wajarlah timbul di negara yang saat ini ingin bergabung ke Uni Eropa.

Orhan Pamuk berusaha mengangkat kontradiksi ini dalam novelnya yang terbaru, Snow atau Neige dalam edisi bahasa Prancis. Buku ini meraih banyak penghargaan, terutama penghargaan sebagai buku terbaik di Frankfurt Book Fair, dan di Prancis ia meraih prix Médicis du roman étranger.

***

Novel Snow ini cukup memakan waktu untuk dapat saya selesaikan. Ini disebabkan oleh lambatnya narasi novel ini yang seolah tak sesuai dengan tema politik yang diambilnya. Akibatnya, butuh ketabahan untuk dapat bertahan sampai akhir, untuk kemudian tercengang oleh akhir cerita. Jadi, kalau Anda ingin baca buku ini, bersiaplah untuk tabah menerima kelambatan cerita, saya yakin Anda tidak akan merugi.

***

Novel ini berkisah tentang Kerim Alakusoglu, seorang penyair Turki asal Istanbul yang tinggal di Frankfurt, Jerman, sebagai pengungsi politik. Ia hidup dari kota ke kota di Jerman untuk membaca puisi dalam bahasa Turki, untuk para penonton Turki. Ka, nama yang ia pilih untuk mengganti nama aslinya, telah tinggal lebih dari sepuluh tahun di Frankfurt.

Di sebuah bulan Februari, Ka meninggalkan Frankfurut untuk mengunjungi sebuah kota perbatasan dengan Armenia, Kars. Kota yang bukan fiktif ini terletak di ketinggian lebih dari 1500 m. Karena situasi geografis dan ketinggiannya itulah taklah mengherankan, jika pada bulan Februari, salju turun tanpa henti di sana.

Ke kota yang bersalju itulah, Ka berangkat. Alasan resmi keberangkatannya adalah untuk sebuah laporan jurnalistik mengenai pemilihan umum lokal dan epidemi bunuh diri yang menghinggapi sejumlah wanita di sana. Meski demikian, alasan sebenarnya mengunjungi Kars adalah untuk Ipek, seorang perempuan yang dicintainya sejak lama, dan baru saja bercerai dari suaminya. Mantan suami Ipek, Muhtar, adalah salah seorang kandidat dalam pemilihan ini. Ia mewakili Partai Kesejahteraan (Prosperity Party), partai yang beraliran Islam relatif moderat.

Selain melibatkan partai yang beraliran Islam, proses politik di Kars melibatkan banyak aktor lainnya. Mulai dari kalangan kemalis, gerilyawan Kurdi, sayap kiri, sampai ke kalangan Islam radikal. Persaingan politik inilah yang akhirnya lebih mewarnai kisah-kisah dalam novel ini, mengalahkan kisah para wanita yang melakukan bunuh diri. Namun demikian, kisah bunuh diri ini, meski tak terlalu banyak disinggung, tapi cukup menentukan dalam persaingan politik.

Tak lama setelah kedatangan Ka ke Kars, salju yang turun dengan lebatnya menyebabkan jalan-jalan menuju Kars tertutupi salju dan tak dapat dilewati oleh kendaraan. Kars menjadi terisolasi. Di Kars yang terisolasi inilah, pergolakan politik mencapai puncaknya, dan Ka di sana mengambil peranan penting.

***

Gaya novel ini cukup menarik meski mungkin agak membosankan.

Narator adalah seorang narator misterius yang menyebut dirinya seorang sahabat dekat Ka. Konteks narasi dan identitas narator disembunyikan memaksa pembaca untuk terus membuka halaman demi halaman. Namun demikian, satu hal yang jelas, narasi dilakukan setelah kunjungan Ka ke Kars, sang narator sendiri yang berulang kali menyatakannya. Narator tak banyak mengintervensi cerita, ia hanya muncul sedikit saja, membuat sering kali novel terasa sebagai novel yang diceritakan oleh orang ketiga non partisipan.

Seringkali cerita terasa lambat karena penulis memilih untuk melakukan cerita rinci soal orang-orang yang ia bicarakan. Ini membuat bukan saja cerita berjalan lambat, tapi juga membosankan, ditambah lagi penceritaan rinci itu tidaklah berguna banyak. Dialog-dialog juga terasa bertele-tele, dan deskripsi berulang-ulang tentang salju yang terus membuat cerita semakin lambat dan ada dalam ambang membosankan.

Kisah cinta antara Ipek dan Ka pada awalnya terasa mengada-ada. Tapi, lama kelamaan pembaca akan memahami keberadaannya, meski mungkin tak sepenuhnya setuju.

Yang menarik adalah cara Pamuk menyampaikan provokasinya ke dunia Barat dan fantasinya tentang dunia Timur, Islam khususnya. Disampaikan begitu mengena dan tak jauh dari sinis. Tapi, ia juga tak lupa melakukan hal sebaliknya. Kritiknya terhadap fantasi umat Islam terhadap dunia Barat tak juga luput diliputnya.

***

Novel ini sangat menarik, dan pantas meraih penghargaan-penghargaan yang didapatnya. Kontroversial tentu saja, tak harus diterima begitu saja, tapi tentu saja bukan untuk dibuang begitu saja.

***

Terakhir, saya akan kutipkan Stendhal yang dikutip oleh Pamuk di awal buku. Buat saya kutipan inilah yang paling menggambarkan novel ini :

Politics in a literary work are a pistol-shot in the middle of a concert, a crude affair through one impossible to ignore. We are about to speak of very ugly matters.

Tanpa ragu, buku Stendhal ini, La Chartreuse de Parme, saya masukkan ke dalam list bacaan saya berikutnya.



Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Tuesday, December 13, 2005

Le Pitre François Weyergans: Obsessive & Erotics

[Le Pitre is the first novel of Weyergans, first published in 1973. The 540 pages roman is about a writer Eric Wein and his series of consultation to his psychanalyst, that he names Le Grand Vizir. Eric Wein never succeeds in his relation with women and he's always obsessed by Salomé, a biblical woman taken from Oscar Wilde tragedy]

I have finished the book, but I needed to reread it at least once more. I made myself under pressure during reading this book. First, it is because the book is library's book, so I cannot keep it. Second, because there are a ton of new books I have there waiting to be read. Then I decided to reread the book. However, the rereading may take so long, because of the nature of the book. I might need some knowledge on psychanalyse, on Freud and Lacan, on Salomé maybe on some poems of Baudelaire.

Baudelaire has invited himself to my dream during my read! (Freudian isn' it?).

***

The novel is about Eric Wein and his psychanalist, Le Grand Vizir. Eric Wein met him to cure his problems, with women in general. The story started when Wein visited Le Grand Vizir in a night, some times before midnight. In this very first meeting, Wein told his problem with women. Le Grand Vizir then asked Wein to write anything he has in his mind, especially about women. Starting from there, one consultation to another, one essay to another, one fiction to another, are experienced by Wein.

One day, in a what so called surprise-party, a party with 27 naked women hanging around, Eric meets Charlotte. A beautiful blondy hair American living in Paris. They then fall in love and have amorous relations. But, then again, it is not that simple with Eric. After a long full of love night in a dischoteque, for example, Eric left Charlotte just like that, since Charlotte mentioned a name that always in Eric's head: Salomé.



***

Eric Wein is a writer that has turbulence ideas. He does not like to be stable. Although having much money, he doesn't live in a house nor in an appartement. He prefers to live from one hotel room to another. He loves books but apparently does not like very much films. We found him very often in one book store to another, and always gives books as presents to girls he meets. Of course, he loves women, and making love maybe his second activities in the novel , coming right after the consultation and before book store.

Le Grand Vizir is a rich psychiatre. He loves collecting art oeuvre. His clinic is a luxury one, and he has a big house in Palermo filled wtih women. The readers recognized him mainly from his discussion with Eric and also from Eric's description of him. He is often described cynically, that he never forgets to ask Eric to pay him, stops the consultation to ask Eric to come back the next day. He loves women, also. Once, during consultation, he asks Eric how much he pays for a prostitution.

Charlotte is a poor young woman falling in love with Eric, but it is never easy with him. But she always loves him, -- Eric does too by the way -- although she knows that she is the second woman in Eric's head after an imaginary sexy Salomé.

***

What surprising a lot from the novel is the style. From the beginning, the reader is already surprised. The narrator is changed from first to third person. When it is third person, it is also Eric that speaks, Eric narrates the story about him. In a chapter, the readers are also surprised with the presence of François Weyergans, the author, in the novel speaking about Eric.

The readers are expected not to read the chapter naming or numbering. Sometimes it simply does not exist, sometimes it does not help. A chapter called chapter IV comes without being preceeded by chapter III,II, or I. The chapter called Fin (The End) comes in the middle of the book and then follows by other chapters. The chapter naming, however, seems to be used to indicate whether the chapter is part of Wein's writing to Le Grand Vizir or it is a usual chapter.

The order of events are not clear, and the readers are supposed to order them, if possible at all.

The book is full of erotic scenes, and the writer does not hesitate to use explicit words like clitoris or sperm.

***

Finally, this book is surprising. The style is too terrorizing and sometimes does not help the readers to enjoy or understand the story. But, still it is a nice book.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Saturday, December 10, 2005

Salomé Oscar Wilde


(picture taken from amazon. It is the cover of one of published Wilde's book. I didn't read the book. I read the script available online)

[I'm interested in Salomé since Weyergans mentions it in Le Pitre again and again. Often, he mentions the Strauss opera of Salomé. The Strauss opera of Salomé is taken from the Oscar Wilde's Salomé]

Kalau ada nama yang terus-terusan disebut dalam buku Le Radeau de la méduse dan Le Pitrenya Weyergans, maka dia adalah Salomé. Namanya sering disebut berbarengan dengan Richard Strauss. Mungkin karena saya tak berpengetahuan tentang bibel dan agama katolik umumnya, saya tidak tahu siapa Salomé dan apa gerangan yang membuat Weyergans seolah terobsesi dengannya. Buku terbaru Weyergans -- sebenarnya buku ini adalah buku yang harusnya jadi buku pertamanya -- juga dijuduli Salomé.

***

Salomé sendiri muncul dalam gospel Matthew. Ia adalah anak tiri Tetarch (pimpinan region) Judea, bernama Herod. Ibu kandung Salomé bernama Herodias.Suatu malam, Herod meminta Salomé menari di hadapannya. Tarian Salomé ini demikian memikatnya sehingga Herod berkata, bahkan bersumpah, akan memenuhi apapun permintaan Salomé, bahkan bila ia meminta setengah kerajaannya. Salomé, atas permintaan ibunya, meminta kepala Jean Baptiste (John the Baptist), seorang nabi. Meski Herod meminta agar Salomé mengubah permintaannya, namun Salomé bersikeras: ia ingin kepala Jean Baptiste. Akhirnya, dieksekusilah Jean Baptiste.

***

Salomé versi Oscar Wilde tidak mengambil utuh-utuh cerita di atas. Ia tetap menggunakan Herod, Herodias, dan Salomé, tapi sang nabi bernama Iokanaan. Di versi ini, Wilde menunjukkan bahwa Salomélah yang lebih bertanggung jawab atas kematian sang nabi, bukan Herodias. Meski demikian, terlihat jelas bahwa Herodias mendukung pilihan anak perempuannya itu.

Salomé Wilde ini ditulis tahun 1891 dalam bahasa Prancis, selama Wilde tinggal di Paris. Beberapa spekulasi menyebutkan bahwa karyanya ini dipengaruhi oleh Salomé karya Flaubert yang muncul di dalam buku Trois Contes (1877). Beberapa sumber menyebutkan pula bahwa Wilde terinspirasi oleh karya pelukis Prancis Gustave Moreau yang juga mengangkat tema Salomé.

Karena karakter seksualnya yang kuat, Salomé tak pernah dimainkan untuk umum sampai tahun 1903, di Neues Theater, Berlin. Richard Strauss kemudian menciptakan opera berdasarkan karya Wilde ini. Tahun 1905 , opera ini dimainkan untuk pertama kali di Royal Opera House, Dresden.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Wednesday, December 07, 2005

Bibliography

I believe that reading someone's novel is not enough to judge the writer of the novel. You need to read most of her/his works.
That's why I love to list complete works of a writer.
I don't want to pollute this blog, so I just created another blog, just for the hobby.
Here it is:
http://anriz-biblio.blogspot.com


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Monday, December 05, 2005

L'Attrape-Coeurs J.D Salinger: Krisis

[L'Attrape-Coeurs, J.D. Salinger translated from American to French by Annie Saumont. Original title: The Catcher in the rye]

Jumat sore, 2 Desember 2005, di kantor.

Jalan-jalan mengunjungi blog Pierre Assouline. Ada posting tentang buku biografi Robert Laffont. Ada cerita bagaimana Laffont membeli hak penerjemahan untuk The Catcher in the rye hanya berdasarkan insting. Saat itu J.D Salinger belum cukup terkenal.

***
Jumat malam, 2 Desember 2005.

Ide bahwa tidak ada buku yang bisa langsung dibaca setelah Le Radeau de La Médusenya Weyergans cukup mengganggu. Buku pesanan saya, Snownya Pamuk dan Sanctuarynya Faulkner baru datang paling cepat pertengahan minggu. Tiba-tiba ada pikiran, bagaimana kalau cari The Catcher in the rye di perpustakaan besok? Ah, nggak. Besok harus cari Le Pitrenya Weyergans, atau Le naufrage de la médusenya Alexandre Corréard, atau Histoire des gauches en France atau Mon nom est Rouge (My name is Red)nya Pamuk.

***

Sabtu pagi, 3 Desember 2005.

Perpustakaan Le Cannet. Saya lupa siapa nama pengarang Le naufrage de la méduse dan juga Histoire des gauches en France, akibatnya kedua buku tersebut tak bisa ditemukan. Mon nom est rougenya juga tidak ketemu, meski buku Pamuk yang lainnya ada. Pergilah saya mencari J.D Salinger. Saya tidak ingat judul terjemahan The Catcher in the rye, tapi hanya ada satu buku Salinger, L'Attrape-Coeurs. Saya baca sampul luarnya:

C'est en 1953 que paraissait dans la collection <<Pavillon>> sous le titre L'attrape-coeurs, la premiere traduction francaise d'un romain américain The Catcher in the Rye dont l'auteur, J.D Salinger, était encore inconnu.

***

Sabtu malam,3 Desember 2005.


Sepakbola. AS-Monaco - Le Mans: 2-0, François Modesto dan Olivier Sorlin.

***

Senin pagi, 5 Desember 2005.

Anak saya bangun. Panik! Jam berapa ini?
Semalam suntuk saya pakai untuk baca L'Attrape-Coeurs
Ketinggalan bus, terlambat ke kantor.

***
Sebuah akhir pekan juga, Desember juga, tapi 1950-an.

Seorang anak muda berusia enam belas tahun, Holden Caulfield, yang juga bertindak sebagai narator. Dari narasinya, kita dapati seorang anak muda sinis, mengritik segala sesuatu di sekelilingnya, dan karenanya terasing. Tapi, si anak muda juga seorang yang rasa ingin tahunya banyak. Ia selalu ingin tahu ke mana perginya bebek-bebek yang muncul di danau dekat Central Park South mulai musim semi, selagi musim dingin -- saat danau membeku . Apakah ada truk yang membawa mereka pergi? Atau mereka pergi begitu saja?

Holden Caulfield anak laki-laki dari keluarga berada. Kakaknya, yang ia sebut-sebut D.B bekerja di Hollywood, perfilman. Adik perempuannya Phoebé, bersekolah di New York dan tinggal bersama kedua orang tuanya. Adiknya yang lain, Allie, adiknya yang terdekat dalam segala artian, meninggal karena leukemia.

Konteks narasi novel ini tak jelas, sepertinya hanya beberapa saat setelah novel ini berakhir.

Cerita dimulai pada sebuah hari Sabtu tak lama setelah Holden dikeluarkan dari sekolahnya, Pencey, karena ia gagal di empat dari lima kelas yang ia ambil. Dikeluarkan dari sekolah bukanlah pengalaman pertamanya, Pencey adalah sekolahnya yang keempat. Meski dikeluarkan, ia masih punya waktu untuk dapat tetap tinggal di Pencey sampai hari Rabu, sebelum kembali ke tempat tinggal orang tuanya di New York. Hari Sabtu itu ia sempat berdiskusi dengan dua orang temannya, Ackley dan Stadlater. Ia merasa sebal dengan mereka berdua, Ackley yang tidak menjaga kebersihan, dan Stadlater yang sok ganteng. Tengah malam, ia bahkan terlibat perkelahian dengan Stadlater yang berkencan dengan Jane Gallagher, gadis yang pernah ia kencani dan tetap ia hormati. Perkelahian itu disulut oleh pengakuan Stadlater bahwa ia berhubungan seks dengan Jane.

Perkelahian itu membuat Holden memutuskan untuk meninggalkan Percey secepatnya. Namun, ia tak berani begitu saja pulang ke rumahnya dan memberi tahu keputusan sekolahnya itu sendiri. Ia memilih untuk datang hari Rabu, setelah surat dari sekolah tentang pengeluarannya itu diterima oleh kedua orang tuanya. Untuk menunggu hari Rabu ia tinggal di sebuah hotel.

Menunggu hari Rabu tampaknya bukan merupakan sesuatu yang mudah. Ia gugup. Ia mencoba menghubungi perempuan penari telanjang yang ia kenal dari seorang teman, tapi tak bisa, ia tidak dapat datang menemani Holden malam itu. Ia mencoba mencari teman perempuan di diskotek hotel Lavender Room, juga tak terlalu berhasil, para gadis dari Seattle itu tak terlalu memperhatikannya. Terlebih lagi, Lavender Room tutup malam hari. Lantas, ia coba beranjak ke Ernie. Tak terlalu berhasil. Ia bertemu dengan Lillian Simmons, seorang gadis yang hanya berusaha untuk membuat Holden bercerita tentangnya pada D.H. Buat Holden, tingkah Simmons ini memuakkan, dan ia memutuskan untuk kembali ke hotelnya.

Ia bertemu Maurice, pegawai hotel, yang menawarkan seorang prostitusi. Sunny namanya. Tapi, Holden tak berniat berhubungan seks dengannya. Ia bayar dan membiarkan Sunny pergi begitu saja. Cerita dengan mereka tak berhenti begitu saja, Maurice kembali: masalah keuangan

Esok tidaklah lebih baik, dan pembaca dibawa terus ke dalam pengalaman Holden yang lain. Kencannya yang gagal dengan Sally, obrolan yang tidak nyambung dengan Luce. Ia selalu saja merasa korban, dan tak henti-hentinya mengritik orang lain. Semuanya itu membuatnya semakin tertekan.

***
Senin malam, 5 Desember 2005.

Novel ini menarik. Ceritanya lancar, dan bahasa Prancis yang digunakan cukup membantu pembaca untuk cepat menghabiskan buku ini. Hanya saja, saya merasa sedikit aneh dengan beberapa istilah yang dipergunakan. Saya harus membaca edisi bahasa Inggrisnya untuk dapat memutuskan apakah penerjemahannya memang baik atau tidak.

Novel ini baru saja diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia. Wah, rasanya ingin tahu edisi bahasa Indonesianya. Mestinya, menerjemahkan buku ini ke bahasa Indonesia bukanlah pekerjaan mudah.

Akhir pekan saya jauh lebih baik dari akhir pekan Holden.
Apakah saya harus mengritik Holden yang telah membuat saya terlambat naik bis pagi ini?


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Sunday, December 04, 2005

Le Radeau de la méduse , François Weyergans: Personal

[Le Radeau de la méduse, François Weyergans, 1983. The photo is taken from amazon and it is not the 1983 version, the version that I read. I forgot to take the photo of the book before it found its way back to the library]

***

Juli 1816.Sebuah kapal Prancis berlayar menuju Senegal. Kapal in kemudian kandas di perairan Mauritania. Kapten kapal dan seorang pejabat tinggi negara beserta keluarganya, dan beberapa orang penting lainnya menyelamatkan diri. Sekitar lima puluhan orang ditinggalkan begitu saja di kapal dengan ditinggalkan sedikit saja bahan makanan. Orang-orang ini berhasil membuat sebuah rakit untuk dapat bertahan hidup sambil berharap meraih daratan secepatnya. Mereka tinggal di rakit ini selama hampir 20 hari, melawan lapar, haus, dan keputusasaan.

Persediaan makanan yang sangat terbatas membuat seorang berharap kematian yang lain, untuk kemudian menjadi bahan makanan. Dibantu oleh seorang ahli bedah, mereka selalu dapat menemukan bagian terbaik dari tubuh manusia yang lain. Untuk minum, mereka mendaur ulang urine mereka sendiri.

***

1819. Hanya beberapa tahun setelah rakit itu kemudian meraih daratan, seorang pelukis Theodore Gericault, pelukis Prancis beraliran romantis, membuat lukisan besar (berlebar hampir tujuh meter) bergambarkan rakit itu, berjudul Le Radeau de la méduse (rakit La Méduse). Lukisan tersebut dipajang sekarang di museum Louvre, Paris. Foto di bawah ini adalah sampul buku lain yang memuat tiruan gambar Le Radeau de la méduse karya Gericault
(gambar diambil dari amazon.fr), yang mungkin akan saya baca bulan depan.


***
2005. Saya membaca kisah tentang Antoine, seorang sutradara yang mendapatkan pesanan film dokumenter tentang lukisan Gericault ini. Buku yang saya baca itu mengambil judul yang sama dengan lukisan Gericault, Le radeau de la méduse karya François Weyergans, penulis yang baru saja dianugerahi Goncourt untuk bukunya Trois jours chez ma mère. Buku ini saya dapatkan dari perpustakaan kota Le Cannet.

Para pembaca buku ini mungkin akan dihinggapi oleh rasa bosan karena narasinya yang monoton, orang ketiga, dan hampir tak ada dialog sama sekali, ciri khas Weyergans, dan juga hampir tak ada plot, cerita seolah mengalir begitu saja tanpa ada konflik, puncak, dan penyelesaian. Tak jauh berbeda dengan karya Régis Jauffret yang saya bahas lebih dari sebulan yang lalu di blog ini.

Namun demikian, tetap saja kisah Antoine yang berusaha membuat film dokumenter ini menarik. Bahkan sangat menarik. Berbeda dengan saat saya membaca Univers, univers nya Jauffret, membaca Le radeau de la méduse buat saya sangat mengasyikkan. Bukan sekedar mengasyikkan, buat saya Le radeau de la méduse, Weyergans bukan Gericault, adalah sesuatu yang saya impikan selalu: menceritakan pengalaman interior saya sendiri dalam menikmati sebuah karya seni (lukisan, puisi, sastra) dengan indah dan dapat dinikmati banyak orang.

***

1980-an. Antoine diminta untuk membuat film tentang Le radeau de la méduse untuk ditayangkan di televisi, karya Gericault. Antoine adalah seorang sutradara Parisien perfeksionis yang hendak mengerjakan karya ini dengan sempurna. Dalam pembuatan skenario dokumenter ini, pembaca dibawa ke dalam dunia Antoine, kisahnya tentang pasangannya Nivea, perempuan Brazil, dan dua mantan istrinya Agnes dan Catherine. Antoine tengah menjalani proses perceraian dengan Agnes. Perceraiannya terjadi sejak ketidakcocokan antara Antoine dengan Agnes sejak Agnes melawat ke Tibet dan menjalankan agama Budha. Orang tua Antoine masih hidup dan ayah Antoine adalah penggemar berat sejarah. Ia sering menelepon anak-anaknya untuk menceritakan fragmen sejarah yang ia sangat sukai.

Interaksi Antoine dengan Nivea, orang tuanya, saudara-saudaranya selama proses pembuatan film ini, diiringi pemikiran-pemikiran Antoine, membuat novel ini sangat menarik. Antoine adalah tokoh yang memiliki kemiripan dengan Weyergans. Mungkin dalam novel ini, Weyergans berusaha bercerita tentang lukisan Gericault dan penghayatan personalnya tentang lukisan itu.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Thursday, December 01, 2005

Décembre: Demandez le programme

(picture is taken from amazon, a book of Alan Pierce, 2004. It is a book for children)

December. What is the program?
December is always an interesting month for reading. That might be the reason why the Pearl Harbor was attacked on the very beginning of December.
It is a holiday month, between December 25th until January 1st, and the night is so long. Time to read!
I have ordered two books of William Faulkner, Sanctuary and Requiem for a Nun. In the same order I added the Snow of Orhan Pamuk. I should have had them in the middle of the week of December.

First of all, Snow of Pamuk.
This book seems so great, everybody speaks about this. The writer himself was nominated for 2005 Nobel Prize. Lire magazine gave three stars and two pages of report for the book. It also obtained the prize of the best book in Frankfurt Book Meeting 2005. Finally, it won Medicis Etranger in France.
Still about the writer. Now, the writer is in a tribunal process for his critics on Kurdish massacre by the Turkish government. And, finally it might be, I am not sure though, an example of how the West wants to see the East.

Then, two books of Faulkner. It's been a long time I think of reading Faulkner, since having read Rose for Emily, to be more precise. Then, in the November edition of magazine-litteraire, I read that Patrick Besson was a great fan of Faulkner. But, that's not enough, I still didn't decide to start with Faulkner. What made I finally decided to start immediately with Faulkner was the program of Threatre National de Nice that will play Requiem for a Nun (Camus version) in January. I am not sure to go for that play, but that really makes me decide to go with Faulkner.

Now, what about the first two weeks? Well, I will first finish the Weyergans's Le Radeau de la meduse. Then, if the other book of Weyergans, Le Pitre, is available in our city library I will read that book. Otherwise, I will read any other available book of Weyergans in the library.

In the meantime, if I could finish Le Pitre before the arrival of my ordered books, I may read the Goncourt 2005 winner of Weyergans, Trois jours chez ma mere. My wife is interested in the book, and think that she will buy it.

And...., I haven't said my last words for Immanuel Kant!


Read more/ Suite / Selengkapnya!