Faire une Pause - Timeout - Rehat

The blog contains mainly my reading activity, -- in broader sense, it includes watching film for example -- experience and my personal appreciation on what I read. Basically, I will read books in one of the three (so far) languages: Indonesian, English, French, then I will write the comment on other language than the text I read, at least I'll try to do so.

o

Monday, November 28, 2005

Dancer in the dark, Lars Von Trier: Spektakuler dan Menyentuh


Dancer in the dark, Lars Von Trier.
Memenangkan Palm d'Or Festival film Cannes 2000.

Spektakuler. Begitulah kesan yang saya rasakan sepanjang dan sesudah menonton film Dancer in the dark ini. Cara pengambilan gambar, adegan demi adegan, lagu dan tarian, plot keseluruhan, semuanya spektakuler dan mengejutkan. Sejak awal film ini penonton akan dikejutkan. Adegan latihan sebuah teater di awal film ini seolah-olah menunjukkan 'making of' sebuah film. Tapi kemudian, film dimulai. Film ini sendiri mengambil bentuk drama musikal, dengan lagu-lagu gubahan Bjork dan bersetting di pedalaman Amerika tahun 60-an.

Film ini berkisah tentang seorang imigran Cekoslovakia, Selma Jezkova,(diperankan oleh Bjork) seorang ibu yang memiliki cacat mata keturunan, hari demi hari cacatnya bertambah dan ia akan segera menjadi buta. Anaknya, Gene, menderita penyakit yang sama dan akan bernasib serupa jika tak segera dioperasi. Selma, seorang ibu yang jujur -- dan naif -- menyalahkan dirinya untuk berani menjadi seorang ibu, meski ia tahu bahwa anaknya akan bernasib sama. Ia berusaha memperbaiki kesalahannya dengan bekerja keras di pabrik baja dan menabung untuk biaya operasi Gene. Waktu Selma tak banyak, ia harus segera mendapatkan uang operasi sebelum terlambat, karena jika terlambat mata anaknya jadi taruhan.


Selma dan Gene tinggal di karavan di tanah kediaman keluarga Bill, seorang polisi lokal, dan Linda istrinya. Hubungan mereka baik, Selma tak pernah terlambat membayar uang sewa, Gene tinggal di kediaman Bill selama Selma bekerja, dan keluarga Bill bahkan menghadiahi sebuah sepeda untuk Gene. Suatu ketika dengan baik hati Selma menawarkan agar uang sewa dinaikkan, karena uang sewanya tak pernah berubah sejak ia tinggal di sana.

Bekerja di pabrik terbukti menjadi suatu aktivitas yang berbahaya bagi Selma. Penglihatannya yang semakin buruk dan suara mesin pabrik yang ritmis, membuat ia kerap menghayal berada pada sebuah teater musikal. Keadaan ini semakin membahayakan aktivitasnya di pabrik. Untunglah, ia memiliki seorang teman yang selalu menjaganya, Kathy (Catherine Deneuve). Kathy menyelamatkannya dari beberapa kecelakaan kerja yang nyaris membahayakan keutuhan tubuh Selma.

Dengan Kathy ini pula Selma berbagi kecintaannya akan teater musikal. Tiap malam, Selma dan Kathy berlatih teater musikal. Selma mendapatkan peran utama teater ini sebagai Maria, namun akhirnya ia harus mengundurkan diri dari peran ini karena ia tak lagi dapat melihat dengan baik, ia bahkan tak lagi dapat melihat batas panggung.

Suatu malam, Bill berkunjung ke karavan Selma. Ia menceritakan kesulitan keuangannya dan utangnya yang bertumpuk. Ia terancam kehilangan rumahnya. Linda tak tahu soal kesulitan keuangan ini dan berpikir bahwa Bill memiliki penghasilan yang lebih dari cukup. Selma menghibur Bill dengan menceritakan pula rahasianya: bahwa ia hampir buta total dan ia menabung uang yang totalnya hampir mencukupi seluruh yang ia butuhkan untuk operasi mata Gene.

Pembukaan rahasia Selma ini terbukti kemudian sebagai suatu kesalahan fatal.

Untuk melengkapi kekurangan biaya operasi dan batas terakhir pembayaran untuk operasi, Selma mengambil shift malam. Bill yang membantu memindahkan Gene ke karavan Selma, menyempatkan untuk mengobrol seadanya dengannya. Di akhir percakapan, Bill berpura-pura hendak pulang meski sebenarnya ia mengawasi Selma. Ia mendapatkan tempat disimpannya uang Selma.

Pembukaan rahasia Selma itu terbukti kemudian sebagai suatu kesalahan fatal.

Hari itu, Selma akan membayar biaya operasi Gene di sebuah klinik. Ia meminta Jeff, seorang lelaki yang mencintainya, untuk mengantarkannya ke klinik sore itu. Sepulang dari tempat kerjanya siang itu, Selma mendapatkan kotak tempat ia menyimpan uang telah kosong. Bill!

Kenaifan Selma terbukti sebagai suatu kesalahan fatal.

Selma pergi menemui Bill di rumahnya. Ia disambut oleh Linda yang mengusirnya dari karavan tempat tinggalnya, karena Bill bercerita bahwa Selma berusaha menarik perhatian suaminya itu. Selma tak menggubris, ia datang untuk meminta uangnya kembali.

Ia meminta berbicara pada Bill. Direbutnyalah uang itu dari tangan Bill. Bill mengancam Selma dengan revolvernya. Selma menolak. Bill bersikeras. Selma menolak.
Bill dan Selma terlibat perkelahian sampai suatu ketika Bill berhasil merebut kembali uangnya tapi terluka oleh revolvernya sendiri. Tapi ia tak mati. Tapi Bill ingin mati. Ia meminta Selma membunuhnya. Selma menolak. Bill bersikeras. Selma menolak. Bill bersikeras tak akan menyerahkan uang Selma, bila ia tak membunuhnya...

Adegan ini buat saya ada dalam batas psikologis yang dapat diterima oleh penonton film. Kedua protagonis berada dalam keadaan yang sulit. Harus ada yang mati, meski tak satupun dari keduanya menginginkan kematian kawan terdekat mereka sendiri. Adegan kekerasan di sini yang dimunculkan secara dramatis dan spekatkuler tak dapat tidak meninggalkan kesan bagi siapapun yang mampu menyaksikannya. Bermenit-menit berlalu. Harus ada pembunuhan, tapi tak seorangpun ingin menjadi pembunuh. Bill ingin menjadi terbunuh, Selma tidak. Uang operasi itu harus dibayar hari ini. Tak jelas pula apakah Bill benar-benar ingin mencuri uang itu ataukah ia tengah merancang sebuah bunuh diri.

Berawal dari situ film bergerak dengan cepat. Adegan demi adegan. Lagu demi lagu. Tarian demi tarian... Semua berada di dalam limit psikologis. Lars Von Trier seolah-olah menyiapkan psikologi para penontonnya untuk kemudian digoncangkan oleh adegan yang ia sajikan. Ia membuka luka demi luka, mengorek lebih dalam, memperbesarnya....

Spektakuler.

O,ya. Saya pernah menonton wawancara Bjork soal film ini. Buatnya, film ini meninggalkan kesan yang dalam dan menyakitkan. Ia menyatakan, dalam wawancara itu, bahwa ia tak mau lagi bermain film karena perannya di film ini begitu menyakitkan. Ia juga mengatakan bahwa ia tak mampu melihat film itu secara lengkap. Ia sendiri tak pernah menonton film itu.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Thursday, November 24, 2005

Komedi satire Le Bourgeois gentilhomme


Le Bourgeois gentilhomme adalah skript drama karya Molière, dimainkan untuk pertama kali di bawah Molière sendiri pada tahun 1670, di hadapan raja Louis XIV. Drama ini saya baca dari buku terbitan LGF terbitan tahun 1985 (poche).

Sebelum membaca skrip drama ini, saya menonton versi DVD pertunjukan teater drama ini yang dibuat oleh Benjamin Lazar. Drama ini disajikan begitu baiknya, tarian, lagu, dan percakapan, dibuat begitu sempurna. Monsieur Jourdain dimainkan begitu baik, demikian pula Madame Jourdain dan Nicole.


Sinopsis
Drama ini tentang seorang borjouis kaya, Monsieur Jourdain, yang menginginkan status sosial bangsawan, meski orang tuanya adalah pedagang. Untuk memperoleh status sosial itu, ia rela untuk melakukan apa saja, sampai hal-hal yang tidak masuk akal.

Diundanglah guru musik, tari, anggar, dan filosof untuk mengajarinya hal-hal yang biasa dilakukan oleh para bangsawan. Tak lupa diundangnya pula seorang perancang busana untuk membuat penampilannya berubah layaknya bangsawan. Sebagai pelengkap, ia jatuh cinta pada seorang wanita bangsawan, marquise, Dorimène.

Teman dekat Monsieur Jourdain, Dorante, adalah seorang bangsawan, tapi tak beruang. Ia memanfaatkan perkawanannya dengan Monsieur Jourdain untuk berutang padanya. Kebanyakan utang ini ia gunakan untuk memanjakan wanita yang ia cintai, Dorimène juga. Dorante bahkan berhasil membuat Monsieur Jourdain menghadiahkan berlian untuk Dorimène, tentu saja buat Dorante hadiah berlian itu datang darinya sendiri, bukan dari Monsieur Jourdain yang ia kelabuinya.

Istri Monsieur Jourdain, dibantu pelayannya, Nicole, berusaha untuk mengembalikan kemasukalan Monsieur Jourdain, yang mencapai puncaknya ketika yang terakhir ini menolak menikahkan anak perempuannya, Lucile, dengan Cléonte. Penolakan itu semata-mata karena Cléonte bukanlah bangsawan.

Dorante ini bahkan berani mengatur sebuah jamuan makan rahasia antara Monsieur Jourdain , Dorimène, dan ia sendiri. Dorante menyebutkan pada Dorimène bahwa jamuan makan ini adalah jamuan makannya, dan kediaman Monsieur Jourdain adalah tempat yang ia pinjam. Sementara pada Monsieur Jourdain, ia menyebutkan perjamuan ini adalah untuk memperkenalkan lebih dekat Monsieur Jourdain pada Dorimène. Di luar dugaan, Madame Jourdain memergoki perjamuan makan ini, dan menuduh Monsieur Jourdain mencoba berselingkuh dengan Dorimène.

Sementara itu, Cléonte yang ditolak oleh Monsieur Jourdain belum mau menyerah begitu saja. Ia kemudian menyamar menjadi seorang anak dari raja Turki untuk kembali melamar Lucile. Terpukau oleh status raja Turki, Monsieur Jourdain akhirnya menerima lamaran ini, dan bahkan menerima untuk terlibat dalam sebuah upacara Turki mamamouchi.

Kesan
Drama ini mengangkat tema kehidupan seorang borjouis yang hendak menjadi bangsawan, diwakili oleh Monsieur Jourdain. Kita bisa dibuat tertawa oleh tingkah laku sang borjouis ini karena kenaifannya, tapi dapat pula dibuat sebal karena keangkuhannya. Tapi yang jelas, dalam drama ini ia bukanlah korban. Ia sendiri yang memilih keseluruhan tingkahlakunya.

Status bangsawan yang dicita-citakannya, ditampilkan melalui tokoh Doriante, yang justru tak memiliki uang. Ia bahkan mau saja melakukan tindakan beresiko dengan "menawarkan" kekasihnya pada Monsieur Jourdain.

Tokoh rasional dalam drama ini diwakili oleh dua wanita, Madame Jourdain dan pelayannya, Nicole. Madame Jourdain lebih dapat menerima status sosialnya sebagai borjouis dan tidak berminat untuk menjadi gila karena ingin menjadi bangsawan.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Sunday, November 20, 2005

Various Voices de Harold Pinter: Stimulant!

Cette oeuvre, Various Voices: Prose, Poetry, Politics : 1948-1998 (déja traduit en français: Autres Voix, Buchet-Chastel, une traduction de très grande qualité d'ailleur) est une introduction au monde de l'ecrivain et dramaturge, écrit par lui-même, lauréat du prix Nobel de la littérature 2005. Ce livre est un recueil de ses essais de theatre et politique, fictions, poèmes depuis 1948 allant jusqu'au 1998.

Comme symbole, ce livre est ouvert par un court essaie qui montre bien l'admiration de l'auteur à son prédecesseur, Shakespeare, A Note on Shakespeare (1950). Pour lui, Shakespeare ecrit dans l'ésprit de montrer et ouvrir, parfois aggraver, des blessures, et non pas pour determiner ni calculer quoi que ca soit ses sources.


He amputates, deadens, aggravates at will, within the limit of a particular piece, but he will not pronounce judgement or cure.

Trois essais qui suivent (On Birtday Party I, On Birthday Party II, et Writing for The Theatre) nous montre sa façon de créer des pièces: Il commence par definir les personnages et les contextes, les réunir, et puis les écouter attantivement. Jamais, il force ses personnages ses paroles, ses idées, ses comportements. Jamais il commence avec une grande idée ou theorie predefinis dans sa tête. Ashes to Ashes et tous les autres piéces plus politiques n'echappent pas à cette regle.

I have usually begun a play in a quite simple manner; found couple of characters in a particular context, thrown them together and listened to what they said, keeping my nose on the ground. The context has always been for me concrete and particular, and the characters concrete also. I've never started a play from any kind of abstract idea or theory...(Writing for The Theatre).

On peut egalement trouver quelques essais qui decouvrent ses entourages et personnes très importants tout au long de sa carriere. On peut trouver notamment Anew McMaster (Mac, 1966) son manager avec qui il a joué comme acteur quand il était encore tout jeune, et Jimmy Wax(Jimmy, 1984), son agent pendant presque 26 ans. Ou encore, et bien evidemment, Samuel Beckett (A Wake for Some BBC TV, 1990).

Un de plus intéressant article s'institule On the screenplay of A la recherche du temps perdu (1978)où il raconte son travail d'écrire un scénario de cinéma basé sur le roman de Proust , qui est malheuresement n'a pas trouvé le fond necessaire pour le concrétiser. Le scénario est neanmois gardé et même publié (Le Scénario Proust : A la recherche du temps perdu, Gallimard , avril 2003).

For three months I read A la recherche du temps perdu every day. I took hundreds of notes while reading but was left at the end quite baffled as to how to approach a task of such magnitude. The one thing of which I was certain was that it would be wrong to attempt to make a film centered around one or two volumes, La Prisonnière or Sodome et Gomorrhe, for example.

Mais, les meilleurs essais restent les deux derniéres articles, qui sont en effet deux entretiens où il se découvre encore plus. Dans Harold Pinter and Michael Billington in Conversation at the National Film Theatre, 26 October 1966, il raconte son attachement à Luis Buñuel.

I think Buñuel was a phenomenon: there was no one like him, nor will there ever be. To say I was influenced by him is to put it much too glibly. He was part of my life. He was a revelation because he was so brutal
.

Et, dans le dernier (Writing Politics and Ashes to Ashes):
I was always extremely excited by language from a very early age. I started writin when I was eleven or twelve. I loved words as a child; and that excitement has remained with me all my life. I still feel as excited now as I ever did about words on a page and about the blank piece of paper and the words that might fill it.L Every piece of blank paper is unknown world which you're going to dive into. That is very challanging.

Malgré tous ses essais intéressants on peut egalement trouver deux articles qui parlent de cricket. Je ne comprends rien, du tout.

Je vais revenir sur la deuxieme et troisieme partie de ce livre, Fiction et Poèm plus tard.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Friday, November 18, 2005

Un Chien Andalou & L'Age d'Or (Apa? Luis Bunuel? Serius?)

Un Chien Andalou(1929) dan L'Age d'Or (1930) dua film yang dikerjakan oleh Luis Bunuel dengan berkolaborasi dengan Salvador Dali. Keduanya adalah film hitam putih surealis yang berusaha memunculkan film dengan menembus batas logis dan tak logis.

Un Chien Andalou berdurasi 17 menit, sedangkan L'Age d'Or sekitar satu jam. Saat dimunculkan, keduanya menimbulkan skandal karena unsur kekerasan dan fantasi seks yang menyimpang yang ditampilkannya. Sekarang tentunya kedua karya itu lebih dapat diterima.

Un Chien Andalou --film bisu -- dimulai dengan seorang laki-laki di sebuah balkon, dengan sebuah silet ia menyilet mata seorang wanita, gambar penyiletan dicampur dengan gambar bulan yang tertutupi awan, tapi tetap penyiletan ditampilkan nyata. Delapan tahun kemudian, seorang laki-laki (yang sepertinya laki-laki yang sama dengan laki-laki di balkon) bertelinga aneh dan berkalungkan sebuah kotak misterius bergaris-garis diagonal mengalami kecelakaan sepeda. Si wanita -- entah mengapa bermata normal -- menolongya. Lubang hitam di tangan sang laki-laki. Puluhan semut hitam keluar dari lubang tangan. Seorang wanita di luar bermain-main dengan potongan tangan. Si wanita akhirnya memasukkan tangan tersebut ke kotak misterius bergaris-garis diagonal. Entah mengapa ia tetap di tengah jalan. Dari apartemen, wanita dan laki-laki dari sepeda memperhatikannya. Si wanita takut melihat wanita misterius itu tetap di tengah jalan penuh mobil lalu lalang, sedang si laki-laki senang. Akhirnya wanita itu tewas ditabrak mobil. Si lelaki puas, dan ia kemudian berusaha memperkosa si wanita. Lalu adegan-adegan absurd nyaris absolut, buah dada yang diremas si lelaki berubah menjadi pantat, mayat dua orang dan kepala keledai, semut hitam yang lagi-lagi keluar dari tangan... Tiba-tiba film melompat ke jam tiga malam, untuk akhirnya lompat lagi ke belakang, belasan tahun lalu...

Kalau Un Chien Andalou hampir sepenuhnya diisi oleh adegan-adegan absurd, L'Age d'Or -- salah satu film awal yang bersuara-- banyak mencampurkan adegan realis. Dalam film ini, misalnya, tak ada adegan sebanding dengan semut hitam yang keluar dari lubang tangan. Tapi, adegan-adegan kekerasan yang absurd, banyak muncul di film ini. Tema cinta dan fantasi seks lebih mendominasi. Cerita dimulai dengan gaya dokumenter tentang kalajengking, yang ditutup dengan pertempuran kalajengking dan tikus besar. Kemudian, tentang sekelompok orang di daerah terisolasi. Muncul di sini beberapa pemuka agama, rahib, berdiri begitu saja, entah apa yang mereka lakukan di sana. Sekumpulan bourjouis datang ke tempat itu, bertemu dengan sekelompok rahib yang telah berubah menjadi tengkorak berjubah. Teriakan wanita. Seorang lelaki berusaha memperkosanya. Para bourjouis itu kemudian memisahkan mereka. Dua orang menggiring laki-laki pemerkosa. Tempat itu kemudian berubah menjadi Roma, ribuan tahun kemudian. Sedikit dokumenter tentang Roma, kemudian dua orang menggiring laki-laki. Dua orang yang sama dengan adegan sebelumnya, dan lelaki yang digiringpun lelaki yang sama. Si tergiring berhasil melepaskan diri dari penggiringnya dan berhasil masuk ke sebuah pesta bourjouis. Seorang wanita. Wanita yang sama dengan yang diperkosanya. Sebuah tembakan dari luar. Seorang laki-laki membunuh anak kecil dengan senapannya. Pesta berlanjut setelah rasa ingin tahu terpuaskan... Meski tak ada adegan 'semut keluar dari lubang tangan', di film L'Age d'Or ini, muncul adegan-adegan yang menentang rasionalitas. Sebagai contoh, seekor sapi --ya, sapi, bukan kucing atau anjing-- yang duduk di atas tempat tidur. Ada pula adegan fetiche , seperti seorang menciumi kaki sebuah patung. Ada pula adegan anti religius, seperti rahib yang dilempar keluar dari sebuah ruangan di lantai dua, dan masih ada beberapa lagi.

Kedua film surealis Bunuel ini provokatif, tapi layak ditonton -- oleh orang dewasa dan tak berpenyakit jantung, dan tak dipenuhi oleh prejudgement -- untuk memahami sebuah aliran tersendiri di film: surealisme, apapun itu artinya.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Sunday, November 13, 2005

Musée d'Art Moderne et d'Art Contemporain de Nice



We visited Musée d'Art Moderne et d'Art Contemporain de Nice last Friday. Robert Rauschenberg was in the exposition. The exposition was interesting. The permanent collection is very interesting as well. The American Pop Art section and American Abstract are beautiful and the permantent collection especially Yves Klein, Niki de Saint Phalle, and Albert Chubac, and of course Ben are very interesting.

At home, I connected to the net, and found some interesting books:
Pop Art in General
  1. Pop Art: A Continuing History. Marco Livingstone, Thames & Hudson, November 2004. English.
  2. Pop Art: A Critical History (The Documents of Twentieth-Century Art). Steven Henry Madoff (Editor). University of California Press ,October, 1997. English.
  3. After Modern Art, 1945-2000 (Oxford History of Art), Oxford University Press. September, 2000.English.
Yves Klein
  1. Yves Klein. Olivier Berggruen et al(Editor). Hatje Cantz Publishers, November 30, 2004. English.
  2. Le dépassement de la problématique de l'art et autres écrits. Yves Klein. ENSBA, 19 mars 2003. French.
Niki De Saint Phalle

Niki De Saint Phalle: My Art, My Dreams. Niki de Saint Phalle. Prestel Publishing, October, 2003. English.

Sosno
L'Art d'oblitération : Essais et entretiens sur l'oeuvre de Sacha Sosno. Françoise Armengaud. Kimé, 31 juillet 2000. French.

Robert Rauschenberg
  1. Robert Rauschenberg. Branden W. Joseph. MIT Press. January, 2003. English.
  2. Rauschenberg/Art and Life. Mary Lynn Kotz.Harry N Abrams; New edition. November 16, 2004. English.



Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Thursday, November 10, 2005

La méthode Mila: Descartes atau Mila?


La méthode Mila. Novel Lydie Salvayre. Seuil, Agustus 2005. 222 halaman.

Protagonis novel ini, hampir tak bernama, seorang pria berumur 40 tahunan, tidak punya pasangan hidup, pengangguran, beralamat di Moissy, sebuah kota kecil sepertinya imajiner, dekat Beauvais, sekitar 80 km utara Paris. Tinggal bersama orang tuanya hingga usia 20 tahun, untuk kemudian tinggal di Paris selama dua puluh tahunan juga, tapi kemudian ditinggalkannya, karena kecewa. Akhirnya, ia memutuskan untuk tinggal, atau tepatnya bertapa, di Moissy.

Di Moissy ia hendak mengasingkan diri untuk menenggelamkan diri dalam filosofi. Artinya: bebas. Seperti Plato. Seperti Hobbes. Seperti Locke. Seperti Leibniz. Seperti Hume. Seperti Kant. Seperti Kierkegaard. Seperti Schopenhauer. Seperti Descartes. Pembacaan filosofinya diselingi dengan pemutaran film-film porno yang ia sewa dari Beauvais. Selain itu, pagi-pagi ia membeli roti dan koran. Tak ada lagi kegiatan lain, dan orang yang ia temuipun terbatas, penjual roti dan koran. Namun, ia menikmati saja.
Sampai pada saat kesehatan ibunya, hampir 90 tahun, memburuk, karena tua. Kakinya tak lagi dapat digunakan, badannya lemah. Kesehatan sang ibu yang sudah cukup buruk diperburuk dengan meninggalnya sang suami. Sang protagonis menawarkan agar sang ibu hidup bersamanya untuk membunuh rasa kesepian mereka berdua. Tawaran yang tak terduga diterima dengan senang hati oleh sang ibu.

Hidup bersama ibunya sama sekali tak menyenangkan, karena sang ibu sangat bergantung pada sang protagonis. Ia harus memandikan sang ibu, membantunya melakukan kegiatan pertoiletan, mengenakan pakaian, layaknya seperti anak kecil yang belum dapat melakukan semua itu. Ketergantungan ibunya diperparah oleh kelakuan sang ibu yang di mata sang protagonis bertujuan semata-mata untuk mengganggunya dalam kegiatan filosofisnya. Misalnya, sang ibu meminta ditemani ke toilet sebanyak enam kali dalam jangka waktu tiga puluh menit, atau berulang kali menanyakan waktu, jam berapa sekarang, bulan apa, dan seterusnya. Kehidupan baru itu dianggap sang protagonis seperti hidup di dalam neraka, dan konflik dengan sang ibu terjadi berkali-kali, membuat sakit sang ibu bertambah parah.

Semua kemudian berubah setelah sang protagonis, yang disebutkan secara sepintas lalu bernama Fausto, bertemu dengan Mila. Darinya ia belajar filosofi yang lain sama sekali dari Descartes, filosofi Mila, dengan metode Mila, berbeda total dengan metode Descartes. Sang protagonis digambarkan hidup lebih ceria dan lebih positif setelah bertemu dengan Mila.

Cerita dalam novel ini disampaikan dalam bentuk essay yang ditujukan langsung pada Descartes, filosof yang sangat dipercaya oleh sang protagonis tapi kemudian disadari bahwa filosofi Descartes bukan saja tidak berguna tapi adalah sumber kemalangan sang protagonis.

Saya sangat menyukai novel ini, terutama gaya narasi yang mengambil bentuk penolakan atas Descartes. Selain itu novel ini juga kaya akan cerita-cerita keseharian yang dapat ditemukan di Prancis, bukan hanya di Moissy. Konflik sosial, ketakutan atau kebencian pada orang asing, direpresentasikan oleh sang protagonis yang berasal dari Spanyol dan berdarah Arab, juga oleh kaum gipsi yang tinggal berpindah-pindah di karavan. Disampaikan dengan bahasa yang lugas, tanpa basa-basi tapi tetap musikal, juga mengentalkan karakter novel ini.

Saya baca novel ini dua kali, karena Salvayre banyak menggunakan kata-kata yang tak saya kenal, sehingga agak sulit dimengerti untuk pertama kali. Pembacaan kedua, ditemani kamus Larousse, dan pembacaan yang lebih hati-hati, cukup memuaskan. Tapi, baik pada pembacaan pertama maupun kedua saya sudah sadar atas kualitas novel ini. Novel ini sendiri disebut-sebut sebagai salah satu favorit untuk memenangkan penghargaan Renaudot 2005, tapi akhirnya kalah bersaing dengan Mes mauvaises pensées karya Bouraoui.

Novel ini mengejutkan saya karena lagi-lagi ada sejarah Andalusia, meski tak banyak, yang muncul di dalamnya. Padahal, sebelumnya saya sudah memutuskan untuk tidak membaca tentang sejarah Andalusia dari buku fiksi. Tak saya duga, ayah protagonis novel ini ternyata lahir di Andalusia, dan meski tak banyak muncul, sejarah Andalusia memegang peranan penting, mungkin yang terpenting, dalam novel ini. Sebuah pertanda? Amin. Mudah-mudahan perjalanan ke Andalusia tahun depan dapat benar-benar terwujud.

L'âme de l'homme est violente (saya tahu menerjemahkan sering berarti mengkhianati kalimat aslinya, dan terjemahan saya ini menghilangkan musikalitas kalimat aslinya, tapi baiklah saya terjemahkan juga: Jiwa manusia penuh kekerasan). Begitu, kata Mila.




Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Wednesday, November 09, 2005

Or atau Mon Trésor Ibu, anak perempuan, hidup

Mon Trésor (judul Asli: Or, harta berhargaku secara harfiah). Film Keren Yedaya. Israel. Bahasa film: Prancis. Bahasa asli: Hebrew. Pemenang Camera d'Or Festival de Cannes 2004.

J'espère qu'avec ce prix nous pourrons construire une maison pour les femmes qui veulent quitter la prostitution. Saya berharap dengan hadiah ini, kami dapat membangun rumah untuk para wanita yang ingin keluar dari prostitusi.

Cela m'est très difficile de dire ça parce que je viens d'Israël et nous sommes responsables aussi des souffrances et de l'esclavage de plus de trois millions de Palestiniens. Sesungguhnya sangat sulit buat saya untuk mengatakan itu, karena saya datang dari Israel dan kami bertanggung jawab atas penderitaan dan perbudakan lebih dari tiga juta warga Palestina.
Begitulah pidato Tom Roth, kamerawan film Or ini, sewaktu ia dianugerahi penghargaan di Cannes. Sulit rasanya bicara tentang Israel tanpa mengkaitkannya dengan konflik Palestina, terbukti dari pidato Tom Roth ini, tapi film ini sama sekali tak ada kaitannya dengan konflik Israel-Palestina.


Protagonis film ini adalah dua wanita, Ruthie dan anak perempuannya, Or (cahaya dalam bahasa Hebrew), yang tinggal di sebuah apartemen sangat sederhana di Tel Aviv. Ruthie sang ibu, bersifat kekanak-kanakan, berlawanan dengan sifat anaknya meski usianya yang masih muda, 17 tahun. Untuk dapat bertahan hidup, Or bekerja di sebuah rumah makan dan juga memunguti botol-botol bekas untuk dijual, sedangkan Ruthie telah 20 tahun hidup di trotoir sebagai prostitusi. Ketika tidak bekerja, Or pergi ke sekolah sedapatnya.

Cerita dimulai saat Ruthie keluar rumah sakit akibat aktivitas prostitusionalnya. Or berketetapan hati untuk tidak lagi membiarkan ibunya bekerja di trotoir. Ia menemukan pekerjaan normal untuk ibunya, pembantu rumah tangga di kediaman salah seorang kenalan mereka. Namun, kehidupannya di trotoir di malam hari tak dapat ditinggalkannya begitu saja, meski menghadapi tantangan keras Or. Rok super mini, pakaian super seksi, tak dapat ditinggalkannya begitu saja. Or sendiri, di tengah kesibukan harinya bersekolah, bekerja di rumah makan, dan memunguti botol-botol, menyukai pula laki-laki. Ia sering bercinta dengan anak laki-laki sebaya tetangganya, mungkin untuk menghilangkan stress kehariannya dan perilaku ibunya.

Sampai ia bertemu dengan Ido, teman sekolahnya yang juga anak sahabat Ruthie. Or dan Ido kemudian jatuh cinta. Suatu ketika, ibu Ido datang ke kediaman Ruthie untuk menyatakan penentangannya pada kedekatan anak mereka, karena menurutnya Or terlalu banyak berhubungan dengan laki-laki, mungkin meski tidak secara terang-terangan, ia mengkaitkan pula perilaku ibunya. Or dan Ido tak mungkin bisa berjalan baik, anggapnya. Reaksi Or dan atas penolakan ini dan juga terhadap kelakuan ibunya menghiasi film iniselanjutnya.

Film ini adalah jenis film yang membuat penontonnya tak merasa nyaman karena sikapnya yang menampilkan gambar apa adanya. Ia menampilkan sisi gelap kehidupan warga miskin Tel Aviv dan bagaimana sulitnya orang keluar dari lingkaran prostitusi. Masalah keuangan, makan dan uang sewa apartemen, memaksa mereka untuk hidup di trotoir. Tak mudah meninggalkannya begitu saja. Ruthie berusaha melupakannya dengan sikapnya yang kekanak-kanakan, sedangkan Or tak dapat lari begitu saja dari lingkungannya, meski usaha keras yang ia lakukan.

Pengambilan gambar di film ini menarik. Sering kali adegan terjadi di pinggir layar, atau bahkan di luar, memaksa penontonnya untuk 'mencari' para pelaku adegan. Selain menampilkan keindahannya sendiri, mungkin ini adalah usaha sutradara untuk menimbulkan kesan bahwa adegan tersebut adalah dekorasi, sedangkan bahasan utama adalah lingkungan tempat adegan itu berada.

Film dengan nilai kemanusiaan yang menarik untuk ditonton.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Sunday, November 06, 2005

Les invasions barbares: culture, culture


Les invasions barbares( in English: The Barbarian Invasions) . Canada, french. A film by Denys Arcand. The best foreign film Academy Award 2004.

September 11th, 2001, the world is shocked. An analyst is convinced that it is the start of the invasion of the barbarians and maybe the start of the decline of the American empire. There is no clear explanation who the barbarians are, it might be the September 11th terrorists, the oriental, not clear.

In the same time, Rémy, a professor of history in a university in Quebec is dying in a hospital of cancer. The man, a socialist intellectual, divorced from Louise, has to stay in his modest hospital room accompanied by the ex-wife. Louise calls in urgent their son Sébastien to come, a successful financial expert working in finance market in London, so a capitalist by definition. The son and father actually have no more things in common, and that pushes a conflict between them. The father thinks that the son has no culture since he does not read any books at all, and the son thinks that the father is an unconnected intellectual stays behind a bad university.

The conflict does not have to wait to come. It comes when Sébastien tries to convince his father to move to a better hospital, in United States. Rémy refuses to move and prefers to stay in the very bad hospital in Quebec to enjoy what he says a result of his socialist model of public service, hospital included and to be accompanied by his friends -- not existing at that time. The conflict pushes Sébastien to leave his father andback to London.

Fortunately, Louise succeeds in convincing him, and even better, she convinces Sébastien to ease the death of the old man. And from there, the story begins... Sébastien, using his almost unlimited financial power, ensures first that Rémy obtains better room. Then, he invites all Rémy's friends to come accompanying the father.

The friends here are very interesting. Two ex-lovers, a homosexual yet intellectual couple, and another more normal man with a wife and children. They discuss philosophical, sosial, sex, religion issues together in the new comfortable room. The discussions are very interesting indeed and not lack of humors and ironies. They make the poor Rémy happy and enease the pain he has because of the cancer.

Well, not really. The pain is still there, and Sébastien is again there to help. He provides the father heroins to kill the pain. It is from Nathalie, a daughter of one of the ex-lover, that Sébastien obtains the heroins.

Although the title is confusing, the film is a fantastic film telling how precious friends and life are. The end is very touching, an unforgettable ceremony of death farewell... It is also a film that opens many interpretation that is probably will enrich the film.

The actors are great, Stéphane Rousseau as Sébastien, Marie-Josée Croze as Nathalie, and Rémy Girard as Rémy plays very good. Marie-Josée Croze won the Cannes Prix d'interprétation féminine 2003 from this film.
But, above all, it is the script that makes the film great.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Wednesday, November 02, 2005

Kalam 2005

Kalam is an Indonesian yearly cultural journal published by UtanKayu Community. This post exposes my personal appreciation on the 2005 edition of the journal.

Saya sudah lupa kapan terakhir kali saya baca Kalam, yang jelas waktu itu masih berbentuk majalah, bukan buku seperti sekarang. Tapi, Kalam tetap Kalam, tetap bagus dan tajam, baik ketika ia berbentuk majalah ataupun buku. Saya dapatkan Kalam 2005 ini dari stand grafitti di pameran buku di Bandung, Agustus lalu. Sebenarnya sudah lama saya baca dan baca ulang beberapa artikel di jurnal ini, tapi baru sekarang saya bisa menulis tentangnya.

Sastra Bandingan menjadi tema Kalam kali ini. Jurnal ini dibuka oleh artikel Manneke Budiman yang bercerita sedikit tentang apa itu sastra bandingan, Tentang Sastra Bandingan. Kemudian dilanjutkan oleh tulisan Nirwan Dewanto, Pembacaan Dekat atau Jauh? , sebuah artikel yang berusaha menjelaskan posisi pembacaan jauh dalam mengapresiasi karya sastra. Artikel yang sangat menarik dan indah sekaligus, agak mengejutkan membaca karya akademis dengan menggunakan banyak metafora. Kemdian, dilanjutkan dengan tiga artikel yang membandingkan dua karya sastra yang berbeda latar belakang budaya dan waktu. Artikel Tragedi Buah Apel: Seks dalam Karya Ayu Utami dan Erica Jong oleh Lisabona Rahman bahkan melakukan pembandingan atas dua karya sastra yang ditulis dalam bahasa yang berbeda. Dua yang lainnya adalah Ambivalensi Naratif dan Transisi Sosial: Lady Chatterley's Lover dan The Satanic Verses dan Gender dan Asia: Shanghai Baby dan Andrew and Joey oleh Intan Paramaditha untuk yang pertama, dan oleh Ari Jogaiswara et. al untuk yang kedua.

Artikel Lisabona Rahman menurut saya cukup menarik; demikian pula karya Intan Paramaditha. Tapi, membandingkan Lady Chatterley's Lover (LCL) dan The Satanic Verses (TSV) menurut saya agak mengada-ada, karena keduanya hampir tak memiliki kesamaan, selain kesamaan penerbit (itupun tergantung dari mana dan kapan kita melihatnya), dan kesamaan bahwa kedua buku ini mengalami pelarangan, meski tidak menyeluruh untuk The Satanic Verses. Mungkin itu yang membuat saya tidak mengerti tulisan Ari Jogaiswara et. al. Ambivalensi naratif memang nyata di karya Rushdie, tapi saya pikir tidak di DH Lawrence. Transisi sosial mungkin kental di LCL, tapi saya pikir tidak demikian halnya dalam TSV.

Ketiga artikel di atas bukanlah yang paling menarik buat saya. Artikel Mikihiro Moriyama Dari Manuskrip ke Cetakan: Sastra Sunda Paruh Kedua Abad ke-19 dan artikel Michael Rinaldo Rilke dan Chairil: Etos Kerja, Terjemah, Silang Tema, buat saya jauh lebih menarik dan ditulis dengan sangat baik. Artikel Moriyama menjelaskan perubahan dalam sastra bahasa Sunda oleh hadirnya cetakan: bagaimana karya sastra yang pada awalnya dibuat untuk dibacakan keras-keras berubah menjadi karya sastra yang dibaca banyak orang dalam keheningan. Artikel Michael Rinaldo menunjukkan betapa menariknya karya terjemahan Chairil Anwar.

Sayang sekali, tak ada cerpen menghiasi jurnal ini, tidak seperti biasanya. Sulit untuk mencari cerpen yang baik?

Baiklah, saya tunggu penerbitan Kalam 2006.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Tuesday, November 01, 2005

Univers, Univers by Régis Jauffret: A gigot that creates hundreds universe


Univers, univers a novel by Régis Jauffret, French, 2003. 609 pages.

Sebuah novel, 600 halaman lebih, tak seperti novel lainnya. Berawal di satu titik, dan berakhir di titik yang sama. Tak ada alur yang jelas, tokoh yang juga tidak jelas, seolah-olah hendak meyakinkan pembaca tentang fungsi sastra: membuka ide baru, mengejutkan pembaca, dan bercanda dengan dunia sambil mengisahkan cerita demi cerita....


An uncommon novel, uncommon woman protagonist, circumstances, ...

It is an anonymous afternoon. A woman is waiting for a leg of lamb, gigot, in an oven. What the gigot is doing there and why, are questions without answers. Not only ignoring the gigot existence, she does not know either who she is, why she is waiting for the unterminated process of grilling the gigot, and where exactly she is located in the world. In her disturbed memory, she thinks that her husband will ring the appartement bell and enter in an instance or another, and two invited persons, probably a couple, will dinner together with them. Tomorrow, she and her husband have to go to Pierrot family house, probably, invited by the family for a dinner where they must support their story about their last trip. The Pierrot family is, probably, a rich family having a nice big covered swimming pool that she must use before the dinner started. Sometimes, they even dine in the pool, probably. Her husband, she has no idea who he is, expects to sell his agent to the couple to finally realise his dream of round a world trip, probably.

There is, in fact, nothing real except the gigot in front of her, the oven, and the appartement that has a terrace where she is located. It is not sure that the husband really exists, that his agent is there, that the the Pierrot couple is a real existence, and that there will be an invited couple to finish her gigots. Nothing real, except the gigot, oven, appartement, and her body. But the husband, the invitees, the agent and the Pierrot couple unexplainably penetrates her memory repetitively.

During waiting the gigot she tries to find out who she is by fitting some biographies. First, she tries one biography of a woman , then she drops it, and tries another biography, some of them reach very far until the death -- many of them are because of suicides-- and some just for one night, and others have only a short introduction sentence before next jump. She changes biography just like changing skirts with an unknown reason, or maybe no reason at all. She enters the biographies and lives several professional, familial, and sexual lifes, often rude and sometimes full of violence. The cold and odd love experiences, the suicides or horrible accidents are repetitively present accompanied sometimes with bitter humor. . Not only woman, she also tries biographies of a man, an animal, a house, anything. Sometimes, she does not imagine other biography and imagines her biography herself.

(from page 81)
Elle est Karine Retas, née à Brest, de parents commerçants. Elle s'intitule Amandine Dupanle, originaire du Jura. Julie Muit de Lausanne, Caroline Fry du Haut-Rhin. Elle se nomme Marie-France Jouvaud, son père était généalogiste, il est mort l'an dernier lors du séisme tandis qu'il était en voyage d'agrément.

(She is Karine Retas, born in Brest, from trader parents. Her name is Amandine Dupanle, from Jura. Julie Muit of Laussane, Caroline Fry of Haut-Rhin. She is called Marie-France Jouvaud, his father was genealogist, died last year on an earthquake while he was in an official trip).


The novel starts from a gigot in her kitchen, and then some, maybe hundred stories of short and long similiar biographies, ends with gigot that finally ready. Still unclear for whom and why, neither who she is...

Her husband desperately trying to sell his agent, the Pierrot couple with their boring stories, the invitees, and not to forget the gigots , the only real thing central of the novel, often comes back into the scenes with some variations here and there.

Given its nature, the novel is quite surprising for readers (I am included) that may expect that a novel must have conflicts, ending, flows, clear narrator point of views. The novel simply has none of that. Its 609 pages contains biographies of almost a hundred imaginative persons -- imagination of the protagonist -- her husband, his agent, invitees, Pierrot. The narration is mainly from the third person, but often it switches to a person in the story that speaks to the protagonist.
Even more surprising that in the opening of the novel, the narrator, warned the readers about the novel and asked the readers to close the book, or at least find some other books where they can find something useful inside. He even said 'that what literature is for': simply not to hope something with conventional beauty, morality, or usefulness. It is to open ideas, to surprise, at a nearly extreme level. The goal , in my opinion, is achieved greatly, although in my opinion 600 pages can be an unacceptable torture.

The writer, Régis Jauffet, has written 10 novels up to 2003, the published year of Univers, Univers and now he had 13 in his account, with Asile de Fous as his last novel. Univers, Univers was rewarded a Prix Decembre 2003. A feminin protagonist is always his preference and it seems that the circular story like this to be his style. Although not particularly seduced,I definitely will not stop with this Univers, Univers.


Read more/ Suite / Selengkapnya!