Faire une Pause - Timeout - Rehat

The blog contains mainly my reading activity, -- in broader sense, it includes watching film for example -- experience and my personal appreciation on what I read. Basically, I will read books in one of the three (so far) languages: Indonesian, English, French, then I will write the comment on other language than the text I read, at least I'll try to do so.

o

Saturday, April 29, 2006

La Douce empoisonneuse, Arto Paasilinna

[La Douce empoisonneuse, novel humor karya Arto Paasilinna. Diterjemahkan ke Prancis dari Finlandia Suloinen myrkynkeittäjä oleh Anne Colin du Terail. Diterbitkan pertama kali di Finlandia tahun 1988, dan di Prancis oleh Denoel tahun 2001. 256 halaman]

Sudah lama saya ingin membaca buku Paasilinna. Bukunya yang terbaru Un homme heureux mendapat pujian di berbagai media. Akhirnya, setelah lama tertunda, saya dapatkan juga salah satu bukunya, La Douce empoisonneuse. Seperti Un homme heureux, novel La Douce empoisonneuse adalah novel humor, agak pahit, tapi tak henti membuat saya tersenyam-senyum ketika membacanya. Adegan bunuh diri seorang militer Jerman digambarkan dengan sangat lucu. Kira-kira begini

"Militer Jerman tewas pada perang dunia II memang banyak, dan satu lagi tidaklah berarti apa-apa. Tapi, kalau yang satu ini tewas karena bunuh diri dari apartemennya di lantai tiga, tentu merupakan skandal baginya. Maka, ketika sang militer menjatuhkan dirinya, segera ditangkapnya. Itu tentu saja merupakan bahaya baginya, karena itu dia berteriak minta tolong, dan segera suaminya dan rekannya turun ke bawah untuk menangkap sang militer. Untung saja mereka segera ke bawah, karena dia sudah sulit untuk menahan berat badan sang militer, yang segera saja menyesal atas keputusannya bunuh diri..."

Lalu,

"Cerita tentang usaha bunuh diri itu sering digunakan oleh rekan-rekannya untuk memperoloknya. Akhirnya, karena tak tahan oleh olok-olokan itu, dia memutuskan untuk menembak kepalanya sendiri ..."

Atau juga

"Finlandia memang diperuntukkan oleh para borjouis. Pengrajin kriminal kecil tidaklah diberi kesempatan untuk mempertunjukkan bakatnya dalam bisnis besar. Mereka harus puas dengan mencuri dengan agresi atau membongkar rumah. Bisnis yang lebih besar diperuntukkan oleh para petinggi, dengan uang publik dan disimpan di bank luar negeri..."

Begitulah, novel ini dipenuhi humor-humor sinis semacam itu, membuat kita senyum, tapi tidak membuat kita sebal, hingga over dosis.

Omong-omong soal over dosis, novel ini bercerita tentang seorang nenek tua tak berdaya yang pada awalnya menggunakan racun untuk melakukan bunuh diri, tapi akhirnya menggunakannya sebagai alat mempertahankan diri dari kriminal para berandal. Si nenek bernama Linnea Ravaska tinggal di sebuah kampung kecil 50 km dari Helsinki. Dia hidup di sebuah rumah kecil dan hanya hidup dari uang pensiun suaminya, mantan kolonel. Hanya saja, seorang keponakannya yang tinggal di Helsinki selalu saja datang pada saat dia memperoleh uang pensiun itu. Bukan sekedar kunjungan kekeluargaan tentu saja, melainkan kunjungan bisnis, karena dia mengambil seluruh uang pensiun itu untuk dirinya sendiri. Dan setiap kunjungan bukanlah kunjungan yang ramah. Keponakannya itu selalu datang dengan rekan-rekan berandalnya, dan melakukan pesta sepanjang malam, dan melakukan tindakan kriminal karena mabuk. Misalnya, mereka membongkar sebuah toko, sambil membunuh anjing penjaganya, dan juga mencuri seekor babi untuk dijadikan bahan makan siang mereka.

Akhirnya, janda kolonel itu tak tahan dan memutuskan untuk melawan. Dipanggilnyalah polisi untuk mengusir para berandal itu dari rumahnya. Tindakannya ini tentu membuat hidupnya dalam bahaya: para berandal itu memutuskan untuk melenyapkannya.

Cerita novel ini disampaikan apa adanya, dengan agak naif, tapi justru di sanalah terletak kelucuan cerita. Ah, asyiknya membaca buku yang satu ini untuk bersantai-santai... Tentu saja saya tak akan berhenti baca Paasilinna, saya akan baca buku yang lainnya.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Wednesday, April 26, 2006

Saturday, Ian McEwan: Menyentuh


[Saturday, novel Ian McEwan. Jonathan Cape, London, 2005. Tebal halaman 279]

Belakangan saya memang sering membaca novel-novel kontemporer yang mengasyikkan dalam hal penyajian. Alur maju-mundur, dialog yang berlompat-lompat ke sana sini, tokoh yang berganti-ganti identitas, dan semacamnya. Saya hampir tak pernah lagi membaca novel yang lurus-lurus saja, yang naratifnya lurus-lurus saja a la novel klasik, tokohnya kuat, dan yang terpenting isinya jelas. Novel-novel yang "lurus-lurus" saja yang terakhir kali saya baca adalah The catcher in the rye bulan Desember lalu. Nah, tiba-tiba bulan April ini saya membaca dua novel seperti itu. Pertama-tama, Les Misérables, meski sebenarnya tak bisa dikatakan lurus-lurus saja, Hugo punya gaya cukup modern sebenarnya. Nah, yang kedua, yang benar-benar lurus-lurus saja justru saya dapatkan dari novel modern, dengan setting waktu terdekat, yakni menjelang invasi Amerika Serikat ke Iraknya Saddam Hussein. Novel yang saya maksud adalah novel Saturday, karya Ian McEwan, terbit tahun 2005 yang lalu, yang mendapat sambutan cukup hangat dari para pembacanya.


Tapi bukan berarti novel yang satu ini membawa pembacanya terlompat-lompat oleh adegan-adegan yang membangkitkan adrenalin. Jauh dari itu, novel ini bak air tenang dengan riak-riak di sana-sini, tapi cukup membawa pembacanya kuyup atau bahkan hanyut ketika coba masuk.

Saturday menceritakan sebuah hari Sabtu yang dialami oleh Henry Perowne, seorang
ahli bedah saraf di London. Sabtu yang kaya. Dimulai dari pukul setengah empat dini hari hingga keesokan paginya. Sabtu yang satu itu dihiasi oleh demonstrasi besar-besaran di London untuk memrotes perang Bush di Irak. Setting yang sangat mendukung pembentukan pikiran ketika Perowne menyaksikan sebuah pesawat jatuh di London Heathrow tak lama setelah dia terbangun pukul setengah empat malam.

Pembaca akan dibawa oleh hangatnya Ian McEwan menceritakan hari Perowne. Berkali-kali kita seakan menyaksikan slow-motion beberapa kejadian di seputar Henry Perowne. Kita akan juga diberikan rincinya pertandingan squash yang dilakukan Perowne dengan rekannya Jay Strauss. Kita akan kenal seorang tokoh menarik bernama Baxter, dan tak lupa pula keluarga Perowne: Rosalind, sang istri pengacara ternama, Theo sang anak pemusik blues, Daisy penyair yang tinggal di Paris, dan Grammaticus kakek kedua anaknya. Kita akan disuguhi rincian perdebatan, tidak ada yang baru dalam perdebatan ini, antara Daisy dan Henry Perowne soal perang Irak. Daisy yang lebih muda tentu saja anti perang Irak, sedangkan sang ayah melihat bahwa perang itu dapat menjadi jalan keluar bagi rakyat Irak dari kesulitan yang diciptakan oleh Saddam.

Novel ini tidak hanya berupa catatan harian seorang dokter. Ada di sana beberapa konflik penting yang menjadikan novel ini lebih dari sekedar catatan harian.

Indah dan menghanyutkan, baik dibaca kalau membutuhkan sesuatu yang tenang dan menenangkan ...
Akankah membuat saya membaca novel serupa? Belum tahu. Karena novel berikutnya kembali ke novel modern yang genit, karya seorang penulis Finlandia.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Sunday, April 16, 2006

Kuis Le Magazine Littéraire

Le Magazine Littéraire adalah sebuah majalah sastra terkemuka di Prancis. Beberapa bulan yang lalu mereka mengadakan kuis yang berisikan pertanyaan-pertanyaan seputar sastra dan linguistik Prancis. Pertanyaannya cukup rinci, misalnya mereka menanyakan arti sebuah kata yang tak dapat kita temukan di kamus-kamus biasa, atau juga penggunaan sebuah idiom oleh seorang sastrawan di novelnya, dan semacamnya.

Hadiah utama kuis ini adalah kamus kultural bahasa Prancis yang terdiri dari tiga jilid buku-buku besar, yang total harganya mencapai hampir 300 Euro.

Dengan bermodalkan Internet, istri saya mencoba menjawab kesepuluh pertanyaan dalam kuis itu. Setelah menghabiskan sekitar beberapa jam di Internet, dia cukup yakin untuk mengirimkan jawaban untuk kuis itu. Nah, tanpa diduga, nama saya terpampang di di Le Magazine Litteraire bulan April ini sebagai pemenang ke 51-80. Bukan hadiah utama memang, tapi cukup membanggakan. Kami dapat hadiah kamus sinonim dan nuansa kata Le Robert.

Lumayan.


Read more/ Suite / Selengkapnya!

o

Friday, April 14, 2006

Les Misérables , Victor Hugo

[Les Misérables, roman Victor Hugo. Pertama kali terbit tahun 1862. Buku yang saya baca adalah terbitan Gallimard seri Folio Classique tahun 1995. Editor edisi ini bernama Yves Gohin. Roman edisi ini terdiri dari dua buku, masing-masing bertebal 954 dan 960 halaman. Edisi singkat Les Misérables diterbitkan Bentang tahun 2006, dengan penerjemah Anton Kurnia]

Pengunjung blog ini mungkin bertanya-tanya kenapa tidak ada lagi post sejak Salon du Livre 23 Maret yang lalu. Alasannya sederhana. Saya selalu saja khawatir meninggalkan blog ini lama-lama, jadi saya membaca Les Misérables selalu diseling dengan novel yang lebih pendek, untuk menjaga agar blog ini tidak jeda terlalu panjang. Akibatnya, Les Misérables tak kunjung usai. Karena itulah, akhirnya sejak kembali dari Paris dari Salon du Livre, saya memutuskan untuk menghabiskan Les Misérables tanpa selingan apapun. Ketika mulai, saya sebenarnya sudah membaca buku kedua halaman 80-an, jadi perhitungan saya, tiga minggu akan cukup untuk menghabiskan sekitar 800-an halaman yang tersisa. Benar saja. Sekitar tiga minggu akhirnya buku ini terselesaikan juga. Uff.

Mungkin Les Misérables Hugo adalah karya Prancis klasik yang paling populer, bersama dengan Monte Cristonya Dumas. Gaya Victor Hugo (ya, ya, saya memang pencinta gaya bercerita) begitu khasnya, kepeduliannya akan rinci dan pergolakan pemikiran para karakternya tak akan dapat begitu saja dilewatkan. Tentu juga, selayaknya karya klasik, tema, plot, dan penokohan memegang peranan penting. Nah, Les Miserables rasanya puncak karya klasik, karena dia sangat kuat di tema, plot, dan penokohan, tanpa menghilangkan gaya bercerita yang tidak tak menarik.

Tapi, bukan lantas para pembaca Les Misérables sepakat tentang tema roman ini. Ada yang berpendapat bahwa tema roman ini adalah protes terhadap tidak tolerannya hukum terhadap kesalahan seseorang. Yang tidak setuju dengan pendapat ini berargumen bahwa kalau saja memang itu temanya, maka cerita seharusnya berhenti di saat Javert, polisi yang tak henti-hentinya mengejar Jean Valjean, mati. Tapi, ternyata tidak, roman masih saja berlangsung. Kemudian orang-orang yang tidak setuju ini mungkin berpendapat bahwa bukan perangkat hukum atau penguasa yang harusnya lebih toleran, tapi masyarakatlah yang lebih toleran. Seandainya mereka toleran, mungkin Jean Valjean tidak menderita sampai akhir roman. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Hanya saja, hampir seluruh pembaca Les Misérables rasanya sepakat dalam hal kuatnya karakter-karakter di dalamnya. Mulai Fantine, seorang perempuan cantik yang harus dihukum oleh masyarakat sekitar karena memiliki seorang anak yang di luar nikah, lalu Cosette, sang anak yang dititipkan pada Thénardier, Jean Valjean dan Javert tentu saja, Marius, dan tak lupa pula Monseigneur Bienvenu, Gavroche, Enjolras, semua berkarakter kuat dan digambarkan dengan rinci.

***

Sekarang sedikit tentang cerita roman ini, untuk yang masih belum tahu. Roman ini bercerita tentang seorang mantan narapidana yang baru saja dibebaskan, bernama Jean Valjean. Tak lama setelah dia dibebaskan, tahun 1815, ia lewat ke sebuah kota kecil bernama Digne. Semua orang menolak untuk memberinya makan dan kamar untuk menginap karena paspornya yang menunjukkan identitasnya sebagai mantan narapidana. Hanya satu orang yang mau menerimanya, Monseigneur Bienvenu, seorang uskup yang berhati mulia. Karena merasa diperlakukan tidak adil, Jean Valjean lalu merasa berhak untuk mencuri beberapa barang milik Monseigneur Bienvenu. Polisi kemudian menangkap Jean Valjean dan membawanya kembali ke kediaman uskup, yang memilih untuk menyelamatkan Jean Valjean dari penjara. Disangkalnya tuduhan pencurian, dan Jean Valjean diberi tambahan beberapa barang mahal lagi. Singkatnya tak lama sejak saat itu, dia berubah dan bertekad untuk membalas kebaikan sang uskup. Tapi, tak mudah. Seorang inspektur polisi bernama Javert terus mengejarnya, dan menanti saat untuk menangkap kembali Jean Valjean.

Di saat yang bersamaan, di Paris, sekelompok anak muda saling jatuh cinta. Salah seorang di antara mereka adalah seorang gadis cantik bernama Fantine. Karena percintaannya, ia harus memiliki seorang anak di luar pernikahan. Hal ini membuatnya tersingkir dari kehidupan sosial. Sang kekasih meninggalkannya, dan dia terpaksa menyingkir dari Paris dan hidup sebagai buruh di Montfermeuil. Sebelumnya, ia menitipkan anaknya, Cosette, pada keluarga Thénardier. Ia mengirimi uang pada keluarga yang satu ini setiap bulannya. Kemudian, karena pabrik tempatnya bekerja mengetahui bahwa dia memiliki anak di luar pernikahan, maka Fantine harus kehilangan pekerjaannya. Sementara itu, keluarga Thénardier terus memintai uang yang semakin lama semakin banyak. Fantine terpaksa hidup dalam kesulitan, yang rela ia jalani agar Cosette dapat hidup layak. Fantine melakukan apa saja, termasuk menjual dirinya. Suatu malam yang dingin, seorang pelanggan memasukkan sebongkah salju ke dalam pakaian Fantine yang sudah tidak sehat. Hal ini mengakibatkan dia marah dan terlibat perkelahian dengan si pelanggan, yang menyeretnya ke kantor polisi. Akibatnya, Fantine jatuh sakit.

Jean Valjean, yang saat itu telah memiliki pabrik dan di pabrik inilah Fantine pada awalnya bekerja, kemudian membebaskan Fantine dari kantor polisi, tapi tak berhasil menyelamatkannya dari kematian. Karenanya, dia berjanji untuk mengasuh Cosette.

Kemudian cerita berlangsung sampai Cosette dewasa dan jatuh cinta pada seorang advokat muda bernama Marius. Dengan setting huru hara bulan Juni 1832, cerita berlangsung sangat menarik dan heroik.

Begitulah cerita garis besar novel ini. Sebenarnya sangat sulit untuk meringkas roman yang satu ini. Roman ini begitu kaya akan detail, misalnya saja perang Waterloo yang digambarkan sangat rinci, ada juga kisah tentang bagian bawah tanah Paris yang juga sangat rinci, keadaan politik yang mendorong huru-hara Juni 1832, semua digambarkan secara rinci dan semakin membuat roman ini kaya.

Tapi sekaligus juga mungkin agak membosankan, apalagi karena mungkin kita tak terbiasa dengan konteks Prancis, konteks politiknya, konteks sosialnya. Jangankan tahun 1832, membayangkan Prancis tahun 2006 saja kita sering kali kesulitan.

Tapi, bagaimanapun juga, membaca roman yang satu ini adalah pengalaman yang asyik dan tak mudah dilupakan. Roman heroik yang akan sangat menyenangkan untuk dibaca, dan mungkin untuk dibaca ulang, untuk semakin menemukan keindahan roman yang satu ini.

***

Pengalaman yang asyik dengan Les Miserables membuat saya mungkin bakal baca lagi roman klasik Prancis yang lain, Monte Cristo? Trois Mousquetaires? Madame Bovary? atau Notre Damme de Paris? Lihat saja nanti.

Untuk sementara, kita akan segera kembali ke zaman modern, dan bertemu dengan Ian McEwen untuk Saturdaynya.


Read more/ Suite / Selengkapnya!