Thursday, March 23, 2006
Salon du livre Paris 2006
Suasana Paris hari-hari itu cukup hangat, demonstrasi di beberapa petak kota menghiasi halaman surat kabar, dan para demonstran memenuhi beberapa metro menuju tempat rendezvous demonstrasi hari itu. Meski demikian, termometer tetap setia menunjukkan suhu sekitar tiga derajat celcius, tak terpengaruh surat kabar, televisi, dan para demonstran.
Ini kali kesekian kakiku dijejakkan di kapital Prancis ini. Kali pertama terkagum, kali kedua takjub, kali ketiga tak terlupakan, kali keempat terlupakan, kali kelima tak teringat. Tujuan utama sang ayah, dengan dua pendampingnya, istri dan anak, adalah mengunjungi salon du livre paris, pameran buku Paris.
Setelah dua hari tetap saja melakukan kunjungan sebagai wisatawan (wajib bagi orang yang tidak tinggal di Paris?) di hari ketiga kami bergerak menuju tujuan utama: porte de Versailles, tempat berlangsungnya pameran buku. Salon du livre Paris adalah kegiatan tahunan dan merupakan kegiatan terbesar dunia perbukuan Prancis. Beratus-ratus penerbit tampil menampilkan bukunya di sini, beratus penulis datang untuk menemui para pembacanya. Mulai dari selebritis, humoris, filsuf, presentator televisi, menteri, pemenang nobel, olahragawan, sampai sekedar penulis hadir menemui para pembacanya.
Sebutlah saja Lionel Jospin, mantan perdana menteri dan calon presiden Prancis 2002, Michelle Alliot-Marie menteri pertahanan Prancis, Patrick Poivre d'Avror pembaca berita paling ternama di Prancis, mantan petenis Yannick Noah, dan sejumlah nama lainnya. Dari sastrawan, yang lebih menarik buat kami, dapat disebut beberapa nama yang populer di Indonesia seperti Marc Levy (film yang diangkat dari bukunya Just Like Heaven sudah atau akan sampai di Indonesia) atau Tahar ben Jelloun, peraih Goncourt 1987 untuk La Nuit Sacrée Malam Keramat (YOI), Georges Chaulet, penulis serial anak-anak Fantomette, ataupun filsuf-selebritis Bernard-Henri Levy. Belum lagi sejumlah penulis yang cukup ternama dan karyanya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa tapi tak cukup populer di Indonesia seperti Amelie Nothomb (Antichrista), Jean Echenoz (Goncourt 1999, Je m'en vais atau I'm Gone), Laurent Gaudé (Goncourt 2004, Le soleil des Scorta atau The house of scorta), Bernard Werber (Empire of the ants), Lydie Salvayre, atau illustrator buku anak-anak Eve Tharlet (Davy). Ditambah lagi beberapa penulis lokal yang cukup sukses di dalam negeri seperti François Weyergans (Goncourt 2005), Guillaume Musso, Heddi Kadour, Pierre Peju, Alexandre Jardin, dan seterusnya dan seterusnya.
Tema pameran tahun ini adalah Francoffonie, yakni untuk menonjolkan peran para enulis yang menulis dalam bahasa Prancis, tapi tidak berkebangsaan Prancis. Kebanyakan dari mereka berasal dari Afrika, beberapa nama mungkin bisa dengan mudah kita kenal seperti Amin Maalouf atau Tahar ben Jelloun, tapi mereka sudah dianggap sangat Prancis. Ada beberapa penulis yang betul-betul bukan Prancis seperti Charif Majdalani (Lebanon), bukunya meraih sambutan luar biasa, Kossi Efoui(Togo), Ahmadou Kourouma (Pantai Gading) bukunya sudah diterjemahkan ke Inggris Allah doesn't have to, Alain Mabanckou, dan banyak lagi.
Saya sendiri menargetkan untuk dapat bertemu dan mendapat tanda tangan beberapa penulis, seperti Laurent Gaudé, Charles Dantzig, Majdalani, HeddiKadour, dan tentu saja Tahar ben Jelloun, dan kalau bisa Bernard-Henri Levy. Sementara istri saya menargetkan Marc Levy, Amelie Nothomb, Georges Chaulet, Guillaume Musso, dan Francois Weyergans. Tak ketinggalan, kami merencanakan untuk bertemu dengan Eve Tharlet, ilustrator buku anak-anak kegemaran anak saya.
Tak semua dapat kami temui, karena antrian setiap orang panjang, karena penulisnya terlambat datang, atau karena anak kami yang mulai bosan. Untungnya, beberapa penulis tetap dapat kami temui.
Pertama-tama Laurent Gaudé, di stand Actes-Sud. Peraih Goncourt 2004 yang satu ini ternyata masih cukup muda dan simpatik. Antrean untuk meminta tanda tangannya cukup panjang. Seorang pengantri yang tepat berada di belakang saya berasal dari Jerman dan mengeluarkan buku versi Jerman The house of Scorta. Cerita novel ini sendiri sebenarnya bukan tipikal novel Prancis, karena mengambil tema drama keluarga, tema yang jarang diangkat. Setelah sekitar 10 menit antre, akhirnya saya menemuinya. Saya ambil bukunya, berbincang sedikit saja. Untuk siapa, untuk anwar a-n-w-a-r, lalu ditulisinya buku yang saya ambil itu dan ditulisi: dengan kata-kata yang paling tersinari mathari, selamat membaca.
Penulis kedua yang kami kunjungi seharusnya Dantzig, ia menulis sebuah buku panduan egois literatur Prancis yang menampilkan sejarah sastra Prancis, tapi dari sudut pandang murni seorang Dantzig, tidak objektif, sangat subjektif: egois. Untuk bukunya ini ia memperoleh penghargaan non-fiksi terbaik. Tapi saya berubah pikiran, tidak ah, yang lain saja. Istri saya melihat si cantik eksentrik Amelie Nothomb yang hari itu berbaju hitam, berlipstik merah yang dapat terlihat dari jarak lima ratus meter, dan bertopi hitam besar. Tapi, dia juga membatalkan niatannya untuk menemuinya, antrean untuk penulis yang satu itu terlalu panjang, dan kabarnya banyak yang sudah menunggu sejak dua jam yang lalu, ah sudahlah, batalkan saja. Semua diperburuk dengan tidak jalannya kartu kredit istri saya, sehingga kami tak bisa melakukan perburuan secara paralel: hanya ada satu kartu kredit yang bisa digunakan untuk beli buku...
Akhirnya, Guillaume Musso lah yang kami kunjungi. Tak terlalu banyak orang mengelilingi penulis best-seller yang satu ini. Saya tak terlalu mengenalnya, tapi istri saya adalah penggemar beratnya. Guillaume Musso berusia muda, tigapuluh lima-an, tapi karyanya entah mengapa dapat menjadi best-seller. Buatnya, seperti pesan yang ditulisnya di buku terbarunya, membaca haruslah kegiatan plaisir, kegiatan yang menyenangkan. Sudah baca buku saya, tanyanya pada istri saya, ya sudah, sudah dua. Yang pertama bagus, yang kedua kurang bagus, agak berbeda konfliknya. Ah, tidak, tidak seperti itu, yang kedua sebenarnya tidak beda.
Francois Weyergans adalah penulis peraih Goncourt 2005. Karyanya sering lebih merupakan autobiografi, tokoh utamanya sering kali seorang penulis novel atau skenario film (dia sendiri). Bukunya yang meraih Goncourt terbaru juga bercerita seorang penulis yang tak dapat memulai penulisannya. Sang penulis yang tak dapat memulai tulisannya itu ingin menulis novel berjudul "Tiga hari di rumah ibuku", yang akhirnya diangkat oleh Weyergans untuk menjadi judul novelnya. Dia terlambat. Kapan datang, tanya beberapa orang pada orang dari penerbit Grasset. Sebentar lagi, dalam perjalanan. Setelah terlambat hampir dua puluh menit dan mengakumulasi jumlah pengantre yang panjang, akhirnya dia datang. Bapak yang satu itu sudah cukup berumur, 66 tahun, dengan satu gelas champagne dia melayani para pembacanya. Ada seorang yang datang dengan membawa buku tua karyanya dua puluh tahun yang lalu, ada bapak-bapak yang membawa fotonya, ada mahasiswa yang tengah membuat tesis tentangnya, ada istri saya. Alfi, apa itu artinya, tanyanya. Seribu jawabnya. Agak terkejut karena Alfi, istri saya, mengambil buku yang ia tulis tahun 1992, dia bertanya kok buku itu. Ya, yang terbaru sudah saya baca. Sang penulis agak terkejut (kenapa ya? karena orang asing?) lalu menuliskan sedikit tentang buku itu di buku tersebut, kemudian ditandatanganinya. Sampai sekarang kami masih melakukan penelitian mendalam tentang apa yang sebenarnya ditulisnya di buku itu. Tak mungkin semua itu tanda tangannya kan? tanya saya dengan bergurau.
Eve Tharlet. Ilustrator buku anak-anak menjadi penulis berikutnya yang kami kunjungi. Kami sudah mengunjunginya di sebuah pameran buku lokal di Selatan sini tahun 2005 yang lalu. Giliran anak saya, empat tahun, yang berbicara banyak. Siapa nama kamu. Fatheen. Ef-a-te-ash-e-e-n. Begini menulisnya, katanya sambil memeragakan menulis F huruf sambung. Seperti terakhir kali, Eve Tharlet berlama-lama dan menggambarkan Davy di buku yang kami beli dengan berbekal pensil, spidol, dan cat air.
Marc Levy tak kami kunjungi. Lagi-lagi karena antrean yang cukup panjang. Satu lagi penulis buku anak-anak yang kami datangi. Namanya Eric Puybaret. Anak saya memilih buku berjudul Angéle au bout de la nuit. Ah, seperti judul roman legendaris Louis-Ferdinand Céline Voyage au bout de la nuit.
Hedi Kaddour. Penulis yang satu ini juga penyair dan sejarawan. Buku Weltenbergnya mendapat sambutan yang luar biasa. Novel ini adalah novel sejarah menceritakan sejarah satu abad Prancis abad XX, tapi di dalam novel ini kita dibawa berjalan-jalan sampai ke Singapura. Novel ini disebut-sebut sebagai novel yang dinanti-nanti oleh banyak orang, karena hampir tak ada novel sejarah yang begitu ambisius sebelumnya. Luar biasanya lagi, Weltenberg adalah novel pertama Kaddour! Anwar? Bisa berbahasa Arab? Ah, tidak. Nama saya Arab, tapi tidak bisa berbahasa Arab. Aah, Anda dari mana? Dari Indonesia (Kenapa dia bertanya seperti itu,ya? Apa dia Arab? Ah, Kaddour mungkin nama Arab). Begitulah, dituliskannya "Selamat membaca untuk Anwar. Novel ini kisah yang membentang selama satu abad".
Istri saya menemui Georges Chaulet, penulis Fantomette. Istri saya telah membaca Fantomette sejak dia masih kecil, di Solo. Dia lebih memilih untuk bertemu Chaulet ketimbang Levy, meski antreannya cukup panjang, dan setiap pengantre datang dengan lima-enam buku untuk ditandatangani. Ini buku Fantomette saya pertama, kata istri saya dengan sedikit jeda sehingga menimbulkan keterkejutan Chaulet, dalam bahasa Prancis lanjutnya, dan keterkejutannya hilang seketika. Ah, dalam bahasa apa sebelumnya? Indonesia. Aaah, jawabnya lagi, sambil menuliskan "Untuk Alfi. Dengan seluruh simpatiku".
Anak kami dan saya memilih untuk menanti istri saya melakukan antrean panjang itu di kantin pameran. Di seputar kantin, terdapatlah stand penerbit-penerbit luar negeri. Ada di sana tentu saja negara-negara berbahasa Prancis seperti Maroko, Aljazair, dan Tunisia, tapi ada juga Lebanon, Yunani, dan Jerman.
Agak mengejutkan karena saya tak dapat menemukan Spanyol dan Italia. Sementara itu dari Asia ada Jepang, China, dan Korea. Yang terakhir ini memang dikenal sangat rajin dan pengonsumsi buku Prancis yang cukup setia.
Sebelum ke kantin, saya sempat mampir ke stand Les Editions de Minuit dan membaca "Jean Echenoz akanhadir tanggal 22 jam 19.00". Ah, kecewanya saya. Mereka tak mengumumkan itu jauh-jauh hari sebelumnya. Seandainya mereka mengumumkan itu jauh hari sebelumnya, pasti saya akan datang, karena penulis yang satu itu tak mungkin kami lewatkan. Ah, sayang sekali...
Masih ada satu lagi penulis yang akan kami kunjungi. Tahar ben Jelloun, untuk buku terbarunya Partir. Ia dijadwalkan untuk memberi tanda tangan mulai pukul 17.30. Anwar. A-en-double v-a-r. Begitu jawab saya. Ah, Anwar, dari mana asal? Indonesia (Mungkin dia bertanya seperti itu, karena dalam bahasa Prancis, nama Anwar sering ditulis Annouar). Ah, saya pernah berkunjung ke Indonesia, dan sangat berkesan. O,ya. Ya, jawabnya, sambil menandatangani buku itu dengan tulisan "untuk Anwar dan untuk kenangan selama saya di Indonesia". Kemudian, saya menyodorkan buku kedua. Ah, beli dua, bagus itu, katanya. Ya, yang ini untuk seorang teman. Siapa namanya? Saya menyebutkan nama rekan itu sambil mengoreksi penulisan ben Jelloun yang salah, yang menulis nama rekan saya itu seketika dalam huruf Arab, karena namanya memang bisa dieja dengan huruf Arab, sibuk rupanya bapak yang satu ini (sayangnya, tetap saja nama itu salah dieja oleh beliau, yah sudahlah, dia terlihat terburu-buru).
Sembari pulang, kami lewat di stand Grasset, banyak orang berkumpul, dan sepertinya petugas keamanan cukup repot mengendalikan para pengunjung. Siapakah gerangan? Ah, Bernard-Henri Levy yang datang untuk memberi tanda tangan untuk bukunya yang terbaru. Ah, filsuf yang satu itu..., filsuf dan selebritis, pasti sulit menggabungkan keduanya, ya. Saya pun berusaha mendekat dan berusaha mengambil fotonya, tapi tak tertarik untuk melakukan antrean seperti yang lain.
Selesai sudah hari itu. Mungkin tahun depan kami akan datang lagi, dengan persiapan yang lebih baik, sehingga bisa mengobrol dengan para penulis yang
terlihat sangat ramah-ramah dan siap berbincang-bincang itu. Sedikit menyesal soal Jean Echenoz dan kartu kredit yang rusak, tapi lumayan, untuk kunjungan pertama, kami sepakat, cukup berhasil.
Di stasiun metro, polisi berjaga-jaga. Mereka membatasi jumlah orang yang dapat mengakses daerah tunggu metro. Orang terlalu banyak, dan sangat
berbahaya untuk mengizinkan semua orang mengakses daerah itu. Dan kamipun menunggu, ah, luar biasa sambutan para pembaca untuk acara ini...
3 Comments:
Sebuah keasyikan memburu mereka yang telah menulis dengan segala!
aduh mak...asyiknyaaa...:-)
Ahmad dan dobby, memang pengalaman yang cukup mengasyikkan memburu para penulis yang dikumpulkan dalam satu gedung. Praktis juga... he..he..
Post a Comment
<< Home