Faire une Pause - Timeout - Rehat

The blog contains mainly my reading activity, -- in broader sense, it includes watching film for example -- experience and my personal appreciation on what I read. Basically, I will read books in one of the three (so far) languages: Indonesian, English, French, then I will write the comment on other language than the text I read, at least I'll try to do so.

o

Monday, December 19, 2005

Snow, Orhan Pamuk



[Snow (2004). A novel by Orhan Pamuk. Translated to English by Maureen Freely from Turkish Kar. Published for the first time in Istanbul 2002. 44 chapters and 436 pages]

***

Turki adalah negara yang menarik. Ia terletak di perbatasan antara Eropa dan Asia. Ini menyebabkan kebudayaan mereka begitu bercampur dan kaya. Kemal Ataturk berusaha menjadikannya Eropa, namun tidak semudah itu . Sampai sekarang, Turki tidaklah benar-benar menjadi Eropa yang sekular, tapi tak pula menjadi negara penting di dunia Islam. Ia ingin menjadi negara demokrasi, tapi pengaruh militer masih terasa kuat, dan dalam beberapa hal Eropa tidaklah terlalu terganggu dengan militer Turki. Yang penting bagi Eropa adalah Turki harus dilindungi dari Islam radikal, apapun itu artinya. Kontradiksi-kontradiksi kemudian wajarlah timbul di negara yang saat ini ingin bergabung ke Uni Eropa.

Orhan Pamuk berusaha mengangkat kontradiksi ini dalam novelnya yang terbaru, Snow atau Neige dalam edisi bahasa Prancis. Buku ini meraih banyak penghargaan, terutama penghargaan sebagai buku terbaik di Frankfurt Book Fair, dan di Prancis ia meraih prix Médicis du roman étranger.

***

Novel Snow ini cukup memakan waktu untuk dapat saya selesaikan. Ini disebabkan oleh lambatnya narasi novel ini yang seolah tak sesuai dengan tema politik yang diambilnya. Akibatnya, butuh ketabahan untuk dapat bertahan sampai akhir, untuk kemudian tercengang oleh akhir cerita. Jadi, kalau Anda ingin baca buku ini, bersiaplah untuk tabah menerima kelambatan cerita, saya yakin Anda tidak akan merugi.

***

Novel ini berkisah tentang Kerim Alakusoglu, seorang penyair Turki asal Istanbul yang tinggal di Frankfurt, Jerman, sebagai pengungsi politik. Ia hidup dari kota ke kota di Jerman untuk membaca puisi dalam bahasa Turki, untuk para penonton Turki. Ka, nama yang ia pilih untuk mengganti nama aslinya, telah tinggal lebih dari sepuluh tahun di Frankfurt.

Di sebuah bulan Februari, Ka meninggalkan Frankfurut untuk mengunjungi sebuah kota perbatasan dengan Armenia, Kars. Kota yang bukan fiktif ini terletak di ketinggian lebih dari 1500 m. Karena situasi geografis dan ketinggiannya itulah taklah mengherankan, jika pada bulan Februari, salju turun tanpa henti di sana.

Ke kota yang bersalju itulah, Ka berangkat. Alasan resmi keberangkatannya adalah untuk sebuah laporan jurnalistik mengenai pemilihan umum lokal dan epidemi bunuh diri yang menghinggapi sejumlah wanita di sana. Meski demikian, alasan sebenarnya mengunjungi Kars adalah untuk Ipek, seorang perempuan yang dicintainya sejak lama, dan baru saja bercerai dari suaminya. Mantan suami Ipek, Muhtar, adalah salah seorang kandidat dalam pemilihan ini. Ia mewakili Partai Kesejahteraan (Prosperity Party), partai yang beraliran Islam relatif moderat.

Selain melibatkan partai yang beraliran Islam, proses politik di Kars melibatkan banyak aktor lainnya. Mulai dari kalangan kemalis, gerilyawan Kurdi, sayap kiri, sampai ke kalangan Islam radikal. Persaingan politik inilah yang akhirnya lebih mewarnai kisah-kisah dalam novel ini, mengalahkan kisah para wanita yang melakukan bunuh diri. Namun demikian, kisah bunuh diri ini, meski tak terlalu banyak disinggung, tapi cukup menentukan dalam persaingan politik.

Tak lama setelah kedatangan Ka ke Kars, salju yang turun dengan lebatnya menyebabkan jalan-jalan menuju Kars tertutupi salju dan tak dapat dilewati oleh kendaraan. Kars menjadi terisolasi. Di Kars yang terisolasi inilah, pergolakan politik mencapai puncaknya, dan Ka di sana mengambil peranan penting.

***

Gaya novel ini cukup menarik meski mungkin agak membosankan.

Narator adalah seorang narator misterius yang menyebut dirinya seorang sahabat dekat Ka. Konteks narasi dan identitas narator disembunyikan memaksa pembaca untuk terus membuka halaman demi halaman. Namun demikian, satu hal yang jelas, narasi dilakukan setelah kunjungan Ka ke Kars, sang narator sendiri yang berulang kali menyatakannya. Narator tak banyak mengintervensi cerita, ia hanya muncul sedikit saja, membuat sering kali novel terasa sebagai novel yang diceritakan oleh orang ketiga non partisipan.

Seringkali cerita terasa lambat karena penulis memilih untuk melakukan cerita rinci soal orang-orang yang ia bicarakan. Ini membuat bukan saja cerita berjalan lambat, tapi juga membosankan, ditambah lagi penceritaan rinci itu tidaklah berguna banyak. Dialog-dialog juga terasa bertele-tele, dan deskripsi berulang-ulang tentang salju yang terus membuat cerita semakin lambat dan ada dalam ambang membosankan.

Kisah cinta antara Ipek dan Ka pada awalnya terasa mengada-ada. Tapi, lama kelamaan pembaca akan memahami keberadaannya, meski mungkin tak sepenuhnya setuju.

Yang menarik adalah cara Pamuk menyampaikan provokasinya ke dunia Barat dan fantasinya tentang dunia Timur, Islam khususnya. Disampaikan begitu mengena dan tak jauh dari sinis. Tapi, ia juga tak lupa melakukan hal sebaliknya. Kritiknya terhadap fantasi umat Islam terhadap dunia Barat tak juga luput diliputnya.

***

Novel ini sangat menarik, dan pantas meraih penghargaan-penghargaan yang didapatnya. Kontroversial tentu saja, tak harus diterima begitu saja, tapi tentu saja bukan untuk dibuang begitu saja.

***

Terakhir, saya akan kutipkan Stendhal yang dikutip oleh Pamuk di awal buku. Buat saya kutipan inilah yang paling menggambarkan novel ini :

Politics in a literary work are a pistol-shot in the middle of a concert, a crude affair through one impossible to ignore. We are about to speak of very ugly matters.

Tanpa ragu, buku Stendhal ini, La Chartreuse de Parme, saya masukkan ke dalam list bacaan saya berikutnya.


3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Saya suka dengan buku ini :-). Kesan yang saya tangkap, Ka, sebenarnya mewakili orang-orang di Turki yang telah merasakan sistem sekuler dan merasa ada sesuatu yang hilang, tetapi ketika mereka mencari ke agama (dalam hal ini Islam), mereka juga merasa bahwa tempat mereka juga bukan di sana.

9:05 pm  
Blogger anriz said...

Saya juga suka sekali buku ini. Tapi saya nggak yakin kalau buku ini dapat dibaca sebelum buku Pamuk lainnya. Ceritanya bisa menimbulkan kebingungan, menurut saya, karena dia seolah hendak menampilkan segala sesuatu dengan nyata, tapi kok agak surealis atau irealis di beberapa tempat.

Sedangkan di beberapa novel lainnya, ia jelas-jelas menggabungkan antara real dan khayalan narator.

6:50 am  
Anonymous Anonymous said...

mas arniz, tulisan2 anda keren. khotir pokoke.

saya belum membaca novel ini secara utuh [diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh sastrawan Syria Abd al-Qadir al-Layy, diterbitkan Dar al-Mada Damascus, dengan judul 'Tsalj'], tetapi saya juga banyak memabca resensinya dalam koran2.

justeru, yang menarik dari novel adalah, pertama, pengembaraan spiritual Ka. asip bener deh penggalan dialog ketika Ka bilang sama seorang tua
"Di Eropa, saya menemukan Tuhan yang berbeda dengan Tuhan yang di sembah oleh orang-orang kampung halaman saya, oleh orang2 Turki."
"Dan, saya baru tersadar, betapa selama ini saya menyembah Tuhan orang2 yang tidak terdidik."

kedua, tentang identitas Turki yang gamang melangkah, yang satu sisi hendak menjadi Eropa, tetapi satu sisi tidak bisa melepaskan dari identitas ketimurannya.

tapi apa emang novel2 pamuk hampir dominan ngangkat pergulatan identitas Turki ya? masalahnya di Yeni Hayat [al-Hayat al-Jadidah, The New Life], Istanbul, Dzikrayah wa Madinah juga Pamuk menonjolkan tema serupa.

mas, saya juga baru beli buku judulnya 'Turkia, al-Bahtsu 'an al-Mustaqbal' [Turki; Mencari Identitas Masa Depan]. senang sekali rasanya andai bisa didiskusikan dengan anda.

oia, btw, udah baca novel best-seller mesir nda, judule Imarah Ya'qubiyan [The jacoubian Building] karyanya Ala al-Aswani. novel ini hampir mirip dengan Judat Bek wa Awladah [Judat Bey dan Anak2nya], novel Pamuk jadul, yang menggambarkan potret beberapa generasi, mulai dari mesir masa cadeves, revolusi, hingga masa sekarang.

terakhir, seneng lah pokoke saya bisa nemu blog mas.

salam

a. ginandjar sya'ban
caire

1:37 pm  

Post a Comment

<< Home