Faire une Pause - Timeout - Rehat

The blog contains mainly my reading activity, -- in broader sense, it includes watching film for example -- experience and my personal appreciation on what I read. Basically, I will read books in one of the three (so far) languages: Indonesian, English, French, then I will write the comment on other language than the text I read, at least I'll try to do so.

o

Thursday, November 10, 2005

La méthode Mila: Descartes atau Mila?


La méthode Mila. Novel Lydie Salvayre. Seuil, Agustus 2005. 222 halaman.

Protagonis novel ini, hampir tak bernama, seorang pria berumur 40 tahunan, tidak punya pasangan hidup, pengangguran, beralamat di Moissy, sebuah kota kecil sepertinya imajiner, dekat Beauvais, sekitar 80 km utara Paris. Tinggal bersama orang tuanya hingga usia 20 tahun, untuk kemudian tinggal di Paris selama dua puluh tahunan juga, tapi kemudian ditinggalkannya, karena kecewa. Akhirnya, ia memutuskan untuk tinggal, atau tepatnya bertapa, di Moissy.

Di Moissy ia hendak mengasingkan diri untuk menenggelamkan diri dalam filosofi. Artinya: bebas. Seperti Plato. Seperti Hobbes. Seperti Locke. Seperti Leibniz. Seperti Hume. Seperti Kant. Seperti Kierkegaard. Seperti Schopenhauer. Seperti Descartes. Pembacaan filosofinya diselingi dengan pemutaran film-film porno yang ia sewa dari Beauvais. Selain itu, pagi-pagi ia membeli roti dan koran. Tak ada lagi kegiatan lain, dan orang yang ia temuipun terbatas, penjual roti dan koran. Namun, ia menikmati saja.
Sampai pada saat kesehatan ibunya, hampir 90 tahun, memburuk, karena tua. Kakinya tak lagi dapat digunakan, badannya lemah. Kesehatan sang ibu yang sudah cukup buruk diperburuk dengan meninggalnya sang suami. Sang protagonis menawarkan agar sang ibu hidup bersamanya untuk membunuh rasa kesepian mereka berdua. Tawaran yang tak terduga diterima dengan senang hati oleh sang ibu.

Hidup bersama ibunya sama sekali tak menyenangkan, karena sang ibu sangat bergantung pada sang protagonis. Ia harus memandikan sang ibu, membantunya melakukan kegiatan pertoiletan, mengenakan pakaian, layaknya seperti anak kecil yang belum dapat melakukan semua itu. Ketergantungan ibunya diperparah oleh kelakuan sang ibu yang di mata sang protagonis bertujuan semata-mata untuk mengganggunya dalam kegiatan filosofisnya. Misalnya, sang ibu meminta ditemani ke toilet sebanyak enam kali dalam jangka waktu tiga puluh menit, atau berulang kali menanyakan waktu, jam berapa sekarang, bulan apa, dan seterusnya. Kehidupan baru itu dianggap sang protagonis seperti hidup di dalam neraka, dan konflik dengan sang ibu terjadi berkali-kali, membuat sakit sang ibu bertambah parah.

Semua kemudian berubah setelah sang protagonis, yang disebutkan secara sepintas lalu bernama Fausto, bertemu dengan Mila. Darinya ia belajar filosofi yang lain sama sekali dari Descartes, filosofi Mila, dengan metode Mila, berbeda total dengan metode Descartes. Sang protagonis digambarkan hidup lebih ceria dan lebih positif setelah bertemu dengan Mila.

Cerita dalam novel ini disampaikan dalam bentuk essay yang ditujukan langsung pada Descartes, filosof yang sangat dipercaya oleh sang protagonis tapi kemudian disadari bahwa filosofi Descartes bukan saja tidak berguna tapi adalah sumber kemalangan sang protagonis.

Saya sangat menyukai novel ini, terutama gaya narasi yang mengambil bentuk penolakan atas Descartes. Selain itu novel ini juga kaya akan cerita-cerita keseharian yang dapat ditemukan di Prancis, bukan hanya di Moissy. Konflik sosial, ketakutan atau kebencian pada orang asing, direpresentasikan oleh sang protagonis yang berasal dari Spanyol dan berdarah Arab, juga oleh kaum gipsi yang tinggal berpindah-pindah di karavan. Disampaikan dengan bahasa yang lugas, tanpa basa-basi tapi tetap musikal, juga mengentalkan karakter novel ini.

Saya baca novel ini dua kali, karena Salvayre banyak menggunakan kata-kata yang tak saya kenal, sehingga agak sulit dimengerti untuk pertama kali. Pembacaan kedua, ditemani kamus Larousse, dan pembacaan yang lebih hati-hati, cukup memuaskan. Tapi, baik pada pembacaan pertama maupun kedua saya sudah sadar atas kualitas novel ini. Novel ini sendiri disebut-sebut sebagai salah satu favorit untuk memenangkan penghargaan Renaudot 2005, tapi akhirnya kalah bersaing dengan Mes mauvaises pensées karya Bouraoui.

Novel ini mengejutkan saya karena lagi-lagi ada sejarah Andalusia, meski tak banyak, yang muncul di dalamnya. Padahal, sebelumnya saya sudah memutuskan untuk tidak membaca tentang sejarah Andalusia dari buku fiksi. Tak saya duga, ayah protagonis novel ini ternyata lahir di Andalusia, dan meski tak banyak muncul, sejarah Andalusia memegang peranan penting, mungkin yang terpenting, dalam novel ini. Sebuah pertanda? Amin. Mudah-mudahan perjalanan ke Andalusia tahun depan dapat benar-benar terwujud.

L'âme de l'homme est violente (saya tahu menerjemahkan sering berarti mengkhianati kalimat aslinya, dan terjemahan saya ini menghilangkan musikalitas kalimat aslinya, tapi baiklah saya terjemahkan juga: Jiwa manusia penuh kekerasan). Begitu, kata Mila.



0 Comments:

Post a Comment

<< Home