Friday, April 14, 2006
Les Misérables , Victor Hugo
[Les Misérables, roman Victor Hugo. Pertama kali terbit tahun 1862. Buku yang saya baca adalah terbitan Gallimard seri Folio Classique tahun 1995. Editor edisi ini bernama Yves Gohin. Roman edisi ini terdiri dari dua buku, masing-masing bertebal 954 dan 960 halaman. Edisi singkat Les Misérables diterbitkan Bentang tahun 2006, dengan penerjemah Anton Kurnia]
Pengunjung blog ini mungkin bertanya-tanya kenapa tidak ada lagi post sejak Salon du Livre 23 Maret yang lalu. Alasannya sederhana. Saya selalu saja khawatir meninggalkan blog ini lama-lama, jadi saya membaca Les Misérables selalu diseling dengan novel yang lebih pendek, untuk menjaga agar blog ini tidak jeda terlalu panjang. Akibatnya, Les Misérables tak kunjung usai. Karena itulah, akhirnya sejak kembali dari Paris dari Salon du Livre, saya memutuskan untuk menghabiskan Les Misérables tanpa selingan apapun. Ketika mulai, saya sebenarnya sudah membaca buku kedua halaman 80-an, jadi perhitungan saya, tiga minggu akan cukup untuk menghabiskan sekitar 800-an halaman yang tersisa. Benar saja. Sekitar tiga minggu akhirnya buku ini terselesaikan juga. Uff.
Mungkin Les Misérables Hugo adalah karya Prancis klasik yang paling populer, bersama dengan Monte Cristonya Dumas. Gaya Victor Hugo (ya, ya, saya memang pencinta gaya bercerita) begitu khasnya, kepeduliannya akan rinci dan pergolakan pemikiran para karakternya tak akan dapat begitu saja dilewatkan. Tentu juga, selayaknya karya klasik, tema, plot, dan penokohan memegang peranan penting. Nah, Les Miserables rasanya puncak karya klasik, karena dia sangat kuat di tema, plot, dan penokohan, tanpa menghilangkan gaya bercerita yang tidak tak menarik.
Tapi, bukan lantas para pembaca Les Misérables sepakat tentang tema roman ini. Ada yang berpendapat bahwa tema roman ini adalah protes terhadap tidak tolerannya hukum terhadap kesalahan seseorang. Yang tidak setuju dengan pendapat ini berargumen bahwa kalau saja memang itu temanya, maka cerita seharusnya berhenti di saat Javert, polisi yang tak henti-hentinya mengejar Jean Valjean, mati. Tapi, ternyata tidak, roman masih saja berlangsung. Kemudian orang-orang yang tidak setuju ini mungkin berpendapat bahwa bukan perangkat hukum atau penguasa yang harusnya lebih toleran, tapi masyarakatlah yang lebih toleran. Seandainya mereka toleran, mungkin Jean Valjean tidak menderita sampai akhir roman. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Hanya saja, hampir seluruh pembaca Les Misérables rasanya sepakat dalam hal kuatnya karakter-karakter di dalamnya. Mulai Fantine, seorang perempuan cantik yang harus dihukum oleh masyarakat sekitar karena memiliki seorang anak yang di luar nikah, lalu Cosette, sang anak yang dititipkan pada Thénardier, Jean Valjean dan Javert tentu saja, Marius, dan tak lupa pula Monseigneur Bienvenu, Gavroche, Enjolras, semua berkarakter kuat dan digambarkan dengan rinci.
***
Sekarang sedikit tentang cerita roman ini, untuk yang masih belum tahu. Roman ini bercerita tentang seorang mantan narapidana yang baru saja dibebaskan, bernama Jean Valjean. Tak lama setelah dia dibebaskan, tahun 1815, ia lewat ke sebuah kota kecil bernama Digne. Semua orang menolak untuk memberinya makan dan kamar untuk menginap karena paspornya yang menunjukkan identitasnya sebagai mantan narapidana. Hanya satu orang yang mau menerimanya, Monseigneur Bienvenu, seorang uskup yang berhati mulia. Karena merasa diperlakukan tidak adil, Jean Valjean lalu merasa berhak untuk mencuri beberapa barang milik Monseigneur Bienvenu. Polisi kemudian menangkap Jean Valjean dan membawanya kembali ke kediaman uskup, yang memilih untuk menyelamatkan Jean Valjean dari penjara. Disangkalnya tuduhan pencurian, dan Jean Valjean diberi tambahan beberapa barang mahal lagi. Singkatnya tak lama sejak saat itu, dia berubah dan bertekad untuk membalas kebaikan sang uskup. Tapi, tak mudah. Seorang inspektur polisi bernama Javert terus mengejarnya, dan menanti saat untuk menangkap kembali Jean Valjean.
Di saat yang bersamaan, di Paris, sekelompok anak muda saling jatuh cinta. Salah seorang di antara mereka adalah seorang gadis cantik bernama Fantine. Karena percintaannya, ia harus memiliki seorang anak di luar pernikahan. Hal ini membuatnya tersingkir dari kehidupan sosial. Sang kekasih meninggalkannya, dan dia terpaksa menyingkir dari Paris dan hidup sebagai buruh di Montfermeuil. Sebelumnya, ia menitipkan anaknya, Cosette, pada keluarga Thénardier. Ia mengirimi uang pada keluarga yang satu ini setiap bulannya. Kemudian, karena pabrik tempatnya bekerja mengetahui bahwa dia memiliki anak di luar pernikahan, maka Fantine harus kehilangan pekerjaannya. Sementara itu, keluarga Thénardier terus memintai uang yang semakin lama semakin banyak. Fantine terpaksa hidup dalam kesulitan, yang rela ia jalani agar Cosette dapat hidup layak. Fantine melakukan apa saja, termasuk menjual dirinya. Suatu malam yang dingin, seorang pelanggan memasukkan sebongkah salju ke dalam pakaian Fantine yang sudah tidak sehat. Hal ini mengakibatkan dia marah dan terlibat perkelahian dengan si pelanggan, yang menyeretnya ke kantor polisi. Akibatnya, Fantine jatuh sakit.
Jean Valjean, yang saat itu telah memiliki pabrik dan di pabrik inilah Fantine pada awalnya bekerja, kemudian membebaskan Fantine dari kantor polisi, tapi tak berhasil menyelamatkannya dari kematian. Karenanya, dia berjanji untuk mengasuh Cosette.
Kemudian cerita berlangsung sampai Cosette dewasa dan jatuh cinta pada seorang advokat muda bernama Marius. Dengan setting huru hara bulan Juni 1832, cerita berlangsung sangat menarik dan heroik.
Begitulah cerita garis besar novel ini. Sebenarnya sangat sulit untuk meringkas roman yang satu ini. Roman ini begitu kaya akan detail, misalnya saja perang Waterloo yang digambarkan sangat rinci, ada juga kisah tentang bagian bawah tanah Paris yang juga sangat rinci, keadaan politik yang mendorong huru-hara Juni 1832, semua digambarkan secara rinci dan semakin membuat roman ini kaya.
Tapi sekaligus juga mungkin agak membosankan, apalagi karena mungkin kita tak terbiasa dengan konteks Prancis, konteks politiknya, konteks sosialnya. Jangankan tahun 1832, membayangkan Prancis tahun 2006 saja kita sering kali kesulitan.
Tapi, bagaimanapun juga, membaca roman yang satu ini adalah pengalaman yang asyik dan tak mudah dilupakan. Roman heroik yang akan sangat menyenangkan untuk dibaca, dan mungkin untuk dibaca ulang, untuk semakin menemukan keindahan roman yang satu ini.
***
Pengalaman yang asyik dengan Les Miserables membuat saya mungkin bakal baca lagi roman klasik Prancis yang lain, Monte Cristo? Trois Mousquetaires? Madame Bovary? atau Notre Damme de Paris? Lihat saja nanti.
Untuk sementara, kita akan segera kembali ke zaman modern, dan bertemu dengan Ian McEwen untuk Saturdaynya.
3 Comments:
mmg beda banget ya, Riz, rasanya membaca karya (sastra) klasik dengan karya (sastra) mutakhir. Yg jelas, Les Miserables meminta konsentrasi lebih dr buku-buku lain.Aku pgn jg cobain rasa Balzac :)
Balzac? Kayaknya saya bakal baca Monte Cristo deh. Bukunya udah punya sih, tapi belum pernah disentuh.
Posting yang bagus.... semoga terus berkembang.... Saya ingin berbagi wawancara dengan Victor Hugo (imajiner) di https://stenote-berkata.blogspot.com/2018/07/wawancara-dengan-victor_87.html
Post a Comment
<< Home