Wednesday, April 26, 2006
Saturday, Ian McEwan: Menyentuh
[Saturday, novel Ian McEwan. Jonathan Cape, London, 2005. Tebal halaman 279]
Belakangan saya memang sering membaca novel-novel kontemporer yang mengasyikkan dalam hal penyajian. Alur maju-mundur, dialog yang berlompat-lompat ke sana sini, tokoh yang berganti-ganti identitas, dan semacamnya. Saya hampir tak pernah lagi membaca novel yang lurus-lurus saja, yang naratifnya lurus-lurus saja a la novel klasik, tokohnya kuat, dan yang terpenting isinya jelas. Novel-novel yang "lurus-lurus" saja yang terakhir kali saya baca adalah The catcher in the rye bulan Desember lalu. Nah, tiba-tiba bulan April ini saya membaca dua novel seperti itu. Pertama-tama, Les Misérables, meski sebenarnya tak bisa dikatakan lurus-lurus saja, Hugo punya gaya cukup modern sebenarnya. Nah, yang kedua, yang benar-benar lurus-lurus saja justru saya dapatkan dari novel modern, dengan setting waktu terdekat, yakni menjelang invasi Amerika Serikat ke Iraknya Saddam Hussein. Novel yang saya maksud adalah novel Saturday, karya Ian McEwan, terbit tahun 2005 yang lalu, yang mendapat sambutan cukup hangat dari para pembacanya.
Tapi bukan berarti novel yang satu ini membawa pembacanya terlompat-lompat oleh adegan-adegan yang membangkitkan adrenalin. Jauh dari itu, novel ini bak air tenang dengan riak-riak di sana-sini, tapi cukup membawa pembacanya kuyup atau bahkan hanyut ketika coba masuk.
Saturday menceritakan sebuah hari Sabtu yang dialami oleh Henry Perowne, seorang
ahli bedah saraf di London. Sabtu yang kaya. Dimulai dari pukul setengah empat dini hari hingga keesokan paginya. Sabtu yang satu itu dihiasi oleh demonstrasi besar-besaran di London untuk memrotes perang Bush di Irak. Setting yang sangat mendukung pembentukan pikiran ketika Perowne menyaksikan sebuah pesawat jatuh di London Heathrow tak lama setelah dia terbangun pukul setengah empat malam.
Pembaca akan dibawa oleh hangatnya Ian McEwan menceritakan hari Perowne. Berkali-kali kita seakan menyaksikan slow-motion beberapa kejadian di seputar Henry Perowne. Kita akan juga diberikan rincinya pertandingan squash yang dilakukan Perowne dengan rekannya Jay Strauss. Kita akan kenal seorang tokoh menarik bernama Baxter, dan tak lupa pula keluarga Perowne: Rosalind, sang istri pengacara ternama, Theo sang anak pemusik blues, Daisy penyair yang tinggal di Paris, dan Grammaticus kakek kedua anaknya. Kita akan disuguhi rincian perdebatan, tidak ada yang baru dalam perdebatan ini, antara Daisy dan Henry Perowne soal perang Irak. Daisy yang lebih muda tentu saja anti perang Irak, sedangkan sang ayah melihat bahwa perang itu dapat menjadi jalan keluar bagi rakyat Irak dari kesulitan yang diciptakan oleh Saddam.
Novel ini tidak hanya berupa catatan harian seorang dokter. Ada di sana beberapa konflik penting yang menjadikan novel ini lebih dari sekedar catatan harian.
Indah dan menghanyutkan, baik dibaca kalau membutuhkan sesuatu yang tenang dan menenangkan ...
Akankah membuat saya membaca novel serupa? Belum tahu. Karena novel berikutnya kembali ke novel modern yang genit, karya seorang penulis Finlandia.
8 Comments:
Saturday udah ada di rak, tapi belum kebaca nih :) Salam kenal yach.. Boleh aku link di blog ku, ga?
Boleh, boleh dilink. Saturday lumayan kok, nggak bagus-bagus amat, enak aja, renyah...
aku tuh suka ngiler2 deh ngebayangin novel2 yg kamu baca, Riz.
karena renyah, jadi ngiler?
Hmm.. nyam nyam...
He he he, saya malah ngga suka sama buku ini, sampai-sampai ngga selesai bacanya. Terlalu terfokus dengan pikiran si pak dokter, akhirnya jadi bosan.
Ya betul Indres. Beberapa kali, selama membaca buku ini, saya jatuh tertidur. He..he..he..
baru selesai baca McEwan yg Amsterdam (1998). suka banget. skrg baru mau mulai yg Atonement (2001).
Nggak tau yah, saya nggak berhasil menemukan hal yang luar biasa dari Saturday. Awalnya asyik, tapi lama-lama kok bosan yah...
Post a Comment
<< Home