Wednesday, May 03, 2006
Trois jours chez ma mère, François Weyergans
[Trois jours chez ma mère, Tiga hari di rumah ibuku, novel François Weyergans, diterbitkan oleh Grasset 2005. 263 halaman. Novel ini meraih Goncourt tahun 2005 yang lalu]
Novel yang satu ini sudah diumumkan di blog ini sejak tahun lalu, tapi tidak terbaca-baca juga, terselingi oleh novel-novel yang lain. Lucu juga, karena tepat ceritanya seperti novel ini, yang sudah diumumkan akan terbit tiga tahun yang lalu, tapi akhirnya baru terbit tahun lalu, itupun dengan keterlambatan lagi.
Yang lebih lucu lagi, novel ini bercerita tentang penulis yang selalu saja berpikiran bahwa novelnya akan selesai dalam dua minggu lagi, paling tidak begitulah yang disampaikan oleh sang penulis François Weyergraf, tapi sudah bertahun-tahun dia berpikir serperti itu. Nyatanya, faktanya, novel François Weyergraf (jangan tertukar dengan nama penulis asli: François Weyergans) tak kunjung terselesaikan. Novel yang hendak ditulis oleh François Weyergraf sendiri adalah sebuah novel yang menceritakan tentang keinginan penulis untuk mengunjungi ibunya, dan berjudul Trois jours chez ma mère, judul yang dipilih oleh François Weyergans untuk novelnya.
Novel Trois jours chez ma mère karya François Weyergraf sendiri, pada gilirannya, menceritakan tentang seorang penulis bernama François Graffenberg. Nah, kompleks kan? Belum cukup sampai di situ, nanti kita akan kenal juga dengan seorang François lainnya, François Weyerstein. OK, kita rekapitulasi, François Weyergans adalah penulis asli, dia menceritakan seorang penulis bernama François Weyergraf, yang menulis tentang seorang penulis François Graffenberg, yang memperkenalkan kita pada François Weyerstein. OK?
Terlepas dari kompleksitas yang diperkenalkan François Weyergans, novel yang satu ini cukup indah, cukup menyenangkan dibaca. Kita akan diperkenalkan dengan banyak hal, mulai dari para penulis seperti Stendhal yang paling banyak dibahas di novel ini, pemusik, tempat-tempat menarik, semuanya. Semua diceritakan dengan gaya monolog panjang penulis yang ingin menyelesaikan novelnya, tapi malahan melakukan monolog tentang hal-hal yang dialaminya, terutama tentang petualangan-petualangan dengan perempuan-perempuan sepanjang hidupnya. Novel yang ingin diselesaikan oleh Weyergraf, Trois jours chez ma mère (Tiga hari di rumah ibuku) sendiri ingin bercerita tentang perempuan lain, perempuan yang sangat memperhatikannya, sangat mendukungnya, dan sangat dicintainya: Ibunya.
Ibu François Weyergraf tinggal di Provence sendiri dalam usia sembilan puluh tahun. Dia memiliki enam orang anak, lima anak perempuan dan satu anak laki-laki. Kenyataan bahwa François Weyergraf adalah satu-satunya anak laki-lakinya mungkin menjelaskan mengapa dia begitu diperhatikan oleh sang ibu.
***
Asyik. Sama asyiknya dengan novel-novel François Weyergans lainnya yang telah dibahas di blog ini: Le radeau de la méduse atau Le Pitre, yang kebetulan bertema serupa. Di Le radeau de la méduse, Weyergans berkisah tentang seorang sutradara yang tak kunjung selesai membuat sebuah film dokumenter, juga karena sang sutradara malahan ngelantur ke sana ke mari. Sedangkan Le Pitre berkisah tentang penulis yang mengunjungi seorang psiko analis. Dibandingkan dengan Le radeau, novel Trois jours chez ma mère lebih erotis, dia lebih banyak menceritakan kisah cinta sang penulis dengan banyak perempuan, sama seperti Le Pitre. Tapi bila dibandingkan Le Pitre, Weyergans menulis Trois jours dengan lebih tenang, tak lagi meledak-ledak, tidak terlalu kompleks, singkatnya lebih mature.
Novel Trois jours chez ma mère sendiri disebut-sebut sebagai novel yang melengkapi novel François Weyergans sebelumnya, Franz et François. Di Franz et François giliran ayahnyalah yang mendapat porsi menjadi bahan inspirasi penulis sekaligus menjadi tokoh utamanya. Mestinya novel Franz et François juga menarik, bahkan banyak yang berpendapat Franz et François lebih menarik ketimbang Trois jours chez ma mère.
***
Di Salon du Livre yang lalu, kami kebetulan bertemu dengan François Weyergans, dan membeli bukunya yang lain La démence du boxeur yang konon tidaklah merupakan novel autobiografi tidak seperti seluruh novel lain yang telah disebut di dalam posting kali ini. Mestinya, novel yang satu itu akan saya baca terlebih dahulu ketimbang Franz et François, tapi siapa tahu.. Novel La démence du boxeur sendiri meraih penghargaan Renaudot tahun 1992.
Trois jours chez ma mère sendiri mendapat penghargaan tertinggi sastra Prancis: Goncourt.
4 Comments:
Cerita berbingkai ya?
Cerita berbingkai yang isinya cerita berbingkai. He...he..
Ini memang kebiasaan sang penulis sih.
Bonjour Monsieur...
saya terTarik denGan novel "Trois jours chez ma mere,Francois Weyergans"...
Ceritanya cukup menarik...
oh ya... Monsieur tnggal di Perancis ya???
saya mahasiswi sastra perancis,universitas Hasanuddin,sedang dlm penyusunan skRipsi...novel yg sy bahas sekarang judulnya "La deRnier du paquet" karya Xavier deucsth...novel itu sy dpt dari teman sy yg jd guide turis..tapiiii...novel sy hilang...
sy bingung,mau cari novel perancis yg asli dimana lg...artinya sy hrs cari bahan skripsi yg baru lg...
novel perancis mahal ya?gmn caranya dpt novel yg murah,cepat,trus ga terlalu sulit tuk di translate?aLamat emaiL sy....mila_kenzhi@yahoo.com
Aide moi Monsieur...Merci Beaucoup pour votre attention...
Novel yang murah, cepat, terus nggak terlalu susah untuk ditranslate? Susah juga permintaannya ya? ..:-)
Saya nggak tahu gimana caranya dapat buku Prancis di Indonesia, selain ke CCF. Mungkin bisa tanya ke CCF, kirim email. Saya yakin mereka dengan senang hati bisa bantu, perpustakaan CCF di Jakarta lumayan.
Kalo mau beli, lihat aja di amazon.fr. Lebih dari bagus kok.
Post a Comment
<< Home