Faire une Pause - Timeout - Rehat

The blog contains mainly my reading activity, -- in broader sense, it includes watching film for example -- experience and my personal appreciation on what I read. Basically, I will read books in one of the three (so far) languages: Indonesian, English, French, then I will write the comment on other language than the text I read, at least I'll try to do so.

o

Saturday, January 14, 2006

Hidup Baru bersama Orhan Pamuk


[La Vie Nouvelle (The New Life/Hidup Baru), novel Orhan Pamuk, pertama kali diterbitkan di Turki dengan judul Yeni Hayat 1994. Diterbitkan di Prancis oleh Gallimard tahun 1999. Penerjemah: Munevver Andac. Tebal 312 halaman]

Suatu hari, aku membaca sebuah buku, dan seisi hidupku berubah. Sejak lembar-lembar awal, kurasakan kekuatan nan luar biasa dari buku itu sehingga kurasakan tubuhku terpisah dari kursi di mana aku duduk dan sekaligus dari meja didepanku.

Begitulah dua kalimat dari novel La Vie Nouvelle karya Orhan Pamuk ini. Buku yang diterbitkan tahun 1994 di Turki ini tentu berperan serta bagi penghargaan dari pemerintah Turki atas karyanya 1998 (penghargaan itu ditolaknya, karena ia khawatir tidak lagi dapat menjaga jarak dengan pemerintah). Saat ini penulis terancam hukuman penjara oleh pemerintah yang sama, atas wawancaranya yang menyinggung genocide Armenia 1915.

Ini novel kedua Orhan Pamuk yang saya baca, setelah Snow yang saya baca bulan lalu. Dibandingkan dengan Snow, novel ini mengambil bentuk dan gaya yang lebih postmodernisme kata banyak pengritik sastra. Hal itu disebabkan oleh plot dan karakter yang tidak menjadi ciri utama novel, dan narasi tidak disampaikan secara story telling dan pembaca disuguhi oleh setengah saja pengetahuan. Cukup di sini penggunaan kata-kata yang besar seperti postmodernisme dan story telling, half knowledge, khawatir nanti saya bercerita sesuatu yang saya tak pahami maksudnya.

Membaca La Vie Nouvelle kita dibawa oleh penulis berkeliling Turki pedalaman, kebanyakan dengan menggunakan bus, mengenali interaksi Turki dengan dunia Barat, masyarakatnya, bioskop, film, kedai teh, pemangkas rambut, dan tak lupa alam-indahnya. Dari perjalanan satu ke perjalanan lain, dari dialog satu ke dialog lain, dari orang satu dan orang lain, kita bisa menyaksikan Ataturk ditempel di setiap dinding-dinding di seluruh Turki, Coca cola yang mulai menggantikan minuman setempat, dan permen-permen yang mulai menggantikan karamel lokal. Kita temui banyak orang, mulai dari dokter, seorang pengacara, pemotong rambut, petugas pos, sampai penulis cerita untuk anak-anak. Semua disajikan dengan penyampaian yang indah dan humor yang satir.

Coba lihat ceritanya tentang sebuah kisah anak-anak berjudul Petrev dan Peter karya penulis bernama Rifki. Petrev digambarkan sebagai seorang Turki yang berkelana ke Amerika dan menemui Peter. Petrev bersama Peter kemudian bekerja sama sebagai koboy yang berkesadaran Turki. Atau lihat ceritanya tentang sebuah jam cuckou yang alih-alih berbunyi kuku kuku, ia mengeluarkan bunyi 'Oh bangganya menjadi seorang Turki'.

Seperti di Snow, kita juga temui di sini kisah cinta termasuk kecemburuan di dalamnya. Juga seperti di Snow, kisah cinta yang sepertinya dibuat sengaja superfisial, menemukan alasan keberadaannya hanya bila seluruh novel telah dicerna. Berbeda dengan di Snow, pembaca La Vie Nouvelle akan mudah dibuat tersesat untuk beberapa saat kemudian digiring kembali ke dalam cerita.

***

Narator adalah seorang mahasiswa muda bernama Osman atau Ali, tergantung konteks cerita. Suatu hari ia bertemu seorang wanita cantik bernama Djanan*, yang kecantikannya dilukiskan bak malaikat, mahasiswi arsitektur. Osman jatuh cinta pada Djanan. Suatu ketika, Osman melihat Djanan membaca sebuah buku, yang kemudian ia dapatkan pula dari sebuah penjual buku tak jauh dari kampus mereka.

Buku itu bercerita tentang hidup baru yang dapat diraih oleh seseorang. Hidup baru yang tampaknya dapat diraih dengan melakukan perjalanan-perjalanan dari satu bus ke bus yang lain. Dari satu kota ke kota lain di seluruh penjuru Turki. Osman berketetapan untuk melakukan perjalanan-perjalanan bus itu, apalagi ketika ia mendapatkan Djanan memiliki serupa rencana.

Tapi, Djanan terlanjur jatuh cinta pada Mehmet. Seorang lelaki yang ia kenal dan juga telah membaca buku yang sama. Ia sempat bertemu dengan Osman, dan ia memperingatkan Osman yang hendak melakukan perjalanan-perjalanan seperti dalam buku bahwa perjalanan-perjalanan itu bisa merenggut jiwanya. Tak lama setelah pertemuan ini, Mehmet kemudian secara misterius menghilang. Osman melihatnya dibunuh oleh seseorang dengan menggunakan revolver, tapi anehnya tak seorangpun merasa melihat kejadian itu, meski pembunuhan dilakukan di tengah hari di tengah kerumunan orang banyak.

Dalam perjalanan-perjalanan bus mereka, belasan bahkan puluhan film mereka tonton. Ketika muncul adegan percintaan, sering muncul keheningan yang mencekam antara mereka berdua. Siang, malam, selama tiga bulan mereka berpindah-pindah dari bus satu ke bus lain, mengalami kecalakaan bus satu ke kecelakaan bus lain, berganti-ganti identitas, untuk meraih satu tujuan menemukan Hidup Baru. Beberapa kali mereka harus menginap di hotel dan berbagi kamar, tapi setiap kali Djanan menolak untuk bercinta dengan Osman. Ia terlalu mirip dengan Mehmet, begitu alasannya.

Sampai suatu ketika mereka bertemu dengan seseorang yang disebut-sebut sebagai dokter Lenfin. Seorang kolektor buku, jam, dan senjata. Ia juga seorang revolusioner yang hendak melakukan apa saja untuk mencegah pembaratan masyarakat Turki. Ia juga berniat untuk membunuh siapa saja yang telah membaca buku yang sama dengan buku yang dibaca Osman (yang saat itu telah berubah menjadi Ali) karena dianggapnya merusak moral. Ia telah menyebar berbagai agen rahasia yang diberi nama sandi merek-merek jam. Seiko, agen terbaiknya, sering menimbulkan rasa takut bagi Osman.

***

Membaca novel La Vie Nouvelle ini begitu mengasyikkan. Perjalanan-perjalanan imajiner dengan narator yang terobsesi Hidup Baru ini menjadikan kisah-kisah tersampaikan begitu menawan. Humor yang menertawakan resistensi masyarakat Turki terhadap dunia barat, dan juga sebaliknya membuat novel ini tak dapat dilepaskan begitu mulai dibaca.

Di lain pihak, buku ini juga menyadarkan saya bahwa mungkin saya salah dalam cara membaca Snow. Seharusnya saya pahami Snow sama seperti membaca sebuah novel kontemporer (saya sudah berjanji untuk tidak menggunakan kata postmodernisme).

Buku ini memantapkan pendapat saya bahwa Orhan Pamuk adalah seorang penulis besar, terlepas dari kegiatan ekstra literernya, ia layak untuk mendapat seluruh hormat dan penghargaan yang ia telah raih dan akan terus ia raih.

*Djanan berarti juga tuhan/dewa

0 Comments:

Post a Comment

<< Home