Sunday, October 02, 2005
Pintu oleh Fira Basuki
This message is my personal appreciation on Pintu, or Door or perhaps Gate, a novel written by a young Indonesian writer Fira Basuki. It is a story about a Javanese, Indonesian, called Bowo and his metaphysics and modernity adventure mixed together. The novel is written in popular Indonesian, and with such an interesting theme should have been able to be a very nice novel. However, some parts of the novel suffer from caricatural and cliché exposition that may hinder the readers to better appreciate the novel.
Kelaparan saya akan karya sastra terbaru Indonesia membuat saya tertarik pada pengarang-pengarang yang juga baru. Tidaklah mengasyikkan membaca lagi-lagi Kuntowijoyo, Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, Mangunwijaya, Pram. Saya ingin baca yang lain. Ayu Utami? Saman telah terbaca dan saya belum ingin membacanya kembali.
Fira Basuki. Sepertinya menarik. Di sampul belakang buku ada komentar Arswendo Atmowiloto dan yang terpenting Sapardi Djoko Darmono. Tak ragu, saya pikir mungkin Fira Basuki merupakan pendatang baru yang akan sama menggemparkan seperti Ayu Utami.
Buku ini bercerita tentang seorang pemuda, Bowo, yang juga berperan sebagai narator tunggal novel ini. Sang tokoh dipaparkan sebagai seseorang yang memiliki mata ketiga, mata yang mampu melihat lebih dari hal-hal yang kasat mata. Cerita-cerita metafisik mendominasi novel ini. Semenjak dari kelahirannya , perjalanannya ke makam leluhurnya -- yakni Sunan Kalijaga --, persahabatannya dengan jin, pelet, reinkarnasi, hantu seorang perempuan cantik bernama Anna, voodoo, kisah-kisah dari Tibet, pertemuannya dengan seorang gadis kecil yang memanggil seperti mantan kekasihnya yang telah meninggal dilebur jadi satu. Semua itu dicampur dengan simbol-simbol kemodernan, yakni Amerika, informatika, email.
Bowo sendiri digambarkan sebagai seorang yang cerdas, nakal, dan berkarakter seperti seorang yang diyakini mempengaruhinya, Sunan Kali jaga. Bowo menceritakan sedikit masa sekolahnya di Jakarta, kemudian dilanjutkan pengalaman berkuliahnya di ITB, dan akhirnya perkuliahannya di Chicago.
Kebanyakan tokoh dalam novel ini adalah perempuan. Adik Bowo, June. Kekasihnya, Putri. Ibunya. Eyangnya, dipanggil Yanti. Seorang wanita yang tergila-gila padanya, Erna. Kekasihnya yang lain, Paris, seorang istri dari suami yang ringan tangan. Sampai istrinya, Aida.
Penulis membentuk karakter-karakter para perempuan itu dengan menceritakan hubungannya dengan mereka dan penceritaan inilah yang membentuk novel Pintu ini. Penceritaan Bowo menggunakan bahasa yang -- mengutip Sapardi-- lancar, yang pada dasarnya adalah bahasa Indonesia sehari-hari, bukan sepenuhnya bahasa baku. Mode penceritaan semacam ini mampu membuat cerita mengalir dengan lancar layaknya air, dan tak kalah valid dengan penggunaan bahasa daerah seperti yang sering dilakukan, misalnya, oleh Kuntowijoyo atau NH Dini.
Penceritaan yang menarik, tema yang khas, dan penguasaan penulis tentang latar metafisik, sebenarnya menjanjikan sebuah novel yang baik.
Hanya saja, patut disesalkan, keutuhan cerita agak dipaksakan. Ini terlihat dari saat Bowo melakukan hubungan seksual dengan Erna. Bagi mereka berdua, hubungan seks yang baru saja mereka lakukan adalah kali pertama, dan semua terjadi seolah-olah kecelakaan. Namun, untuk menjaga keutuhan cerita, tiba-tiba diceritakan bahwa Bowo menggunakan kondom. Ah, itu semua untuk menjaga agar Erna tidak hamil?
Yang tak kalah mengganggunya adalah penggunaan karikatur-karikatur yang diulang dan di daur ulang. Seseorang yang belajar ilmu komputer tak akan jauh dari hacker adalah stereotipe yang sering muncul, demikian pula penggambaran perpeloncoan di ITB yang juga sangat karikatural.
Tak kalah mengganggunya adalah kecendrungan penulis melalui sang pencerita, Bowo, menceritakan banyak hal. Ketika Bowo menggambarkan Chicago melalui suratnya untuk June, pembaca seolah membaca selebaran petunjuk wisata mengaburkan keindahan Chicago menjadi sesuatu yang dibaca oleh setiap orang.
Atau mungkin, penulis ingin menggambarkan kemampuan Bowo yang biasa-biasa saja, sehingga karikatur adalah caranya bercerita? Sepertinya, itu suatu kemungkinan yang layak saja.
Akhirnya, saya menganggap novel ini biasa-biasa saja, belumlah sekelas Samannya Ayu Utami atau karya-karya penulis yang saya sebut di awal message ini.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home