Faire une Pause - Timeout - Rehat

The blog contains mainly my reading activity, -- in broader sense, it includes watching film for example -- experience and my personal appreciation on what I read. Basically, I will read books in one of the three (so far) languages: Indonesian, English, French, then I will write the comment on other language than the text I read, at least I'll try to do so.

o

Friday, October 14, 2005

L'Attentat oleh Yasmina Khadra


Kalau ada konflik pasca perang dunia kedua yang paling banyak menyita perhatian, maka konflik itu adalah konflik Israel-Palestina. Lingkaran setan kekerasan sepertinya
tidak pernah berhenti bergerak. Pertarungan David-Goliath antara anak-anak kecil Palestina yang melempari tank Israel dengan batu, dibalas dengan semburan api dari sang tank.
Keputusasaan lalu mengundang generasi berikutnya melakukan apa yang sering disebut sebagai terorisme: melakukan bom bunuh diri, di restoran, cafe, halte bus, atau di dalam bus itu sendiri. Korbannya? Lagi-lagi orang-orang tak bersenjata, beberapa juga anak kecil, melawan bom. Hasilnya bisa diduga, tak lama kemudian tempat tinggal keluarga kamikaze tersebut dibuldozer, kalau saja masih ada yang bisa dibuldozer dan tank serta pesawat akan melakukan pembalasan di daerah perang. Lalu, kejadian kembali terulang: lahirlah kamikaze lain dan rumah lain yang dibuldozer, pemboman balasan, dan seterusnya dan seterusnya.

Telah banyak cerita tentang konflik ini, jutaan lembar surat kabar dilumuri tinta -- yang ini berwarna hitam bukan merah seperti di daerah konflik -- memenuhi lembaran-lembaran surat kabar, majalah, cerpen, novel, roman, pamflet-pamflet. Berjam-jam sudah memenuhi berita televisi, film dokumenter, sampai propaganda dibuat tentang konflik ini. Ribuan kursi, meja, pengeras suara, telah jadi saksi debat dan diskusi seputar konflik. Sang konflikpun telah melahirkan pemenang nobel yang tak mampu mengurangi suhu panas konflik.


Masih adakah tempat bagi lembaran-lembaran kertas baru untuk dilumuri tinta seputar konflik ini? Ah, selagi konflik tetap menjadi bagian keharian mereka, tentu saja. Masihkah menarik? Sepertinya, masih.Ini terbukti dengan munculnya kisah, yang luar biasa menariknya,
Amine Jaafari.Ia adalah dokter bedah Palestina yang dinaturalisasi Israel, tinggal di Tel Aviv.

Sebagai Arab, adalah suatu perjuangan tersendiri untuk sukses meraih gelar akademis sebagai
dokter bedah di perguruan tinggi Israel. Selagi di sekolah, rekan-rekanya memandangnya
dengan kecurigaan natural dan menganggapnya sebagai ancaman bagi tingkat hidup mereka. Tak banyak yang menerimanya dengan baik, salah satunya adalah Kim Yehuda, perempuan yang kuliah di tempat yang sama dengannya tapi tiga angkatan lebih muda. Selepas dari sekolah ia bekerja di sebuah rumah sakit di Tel Aviv sebagai ahli bedah dan penghargaan demi penghargaan ia raih atas kerja kerasnya di bidang ilmu pengetahuan dan atas dedikasinya. Ia meraih kehormatan di rumah sakitnya dan juga di kesehariannya. Kediamannya di daerah terbaik di Tel Aviv di tempat hanya orang-orang sangat berada yang mampu membeli sebuah rumah di sana. Pasiennya sangat menghargainya, sampai salah seorang inspektur polisi tingkat tinggi di Israel pun menjadi sahabat baiknya.

Amine menikah dengan seorang Arab, Sihem, wanita yang cantik dengan pengalaman pahit selama masa kecilnya. Kim, lalu menjadi sahabat terdekatnya, salahnya sendiri memilih seorang Rusia menjadi kawan hidupnya, yang kemudian meninggalkannya.

Sebagai seorang dokter di Tel Aviv, ia terbiasa untuk menangani kasus-kasus urgen seperti pemboman di restoran atau di bus. Juga hari itu, seorang memiliki ide cemerlang untuk masuk ke sebuah restoran fast food dan melakukan bom bunuh diri di tengah pesta ulang tahun anak-anak belasan tahun. Sekitar dua puluh orang tewas. Rumah sakit disibukkan dengan kedatangan korban-korban yang cedera. Tangisan, rintihan, teriakan para korban memenuhi rumah sakit. Para dokter, Amine dan Kim juga, sibuk menangani korban. Salah seorang korban yang sakit, karena rasa sakitnya, berteriak-teriak agar ia segera ditangani. Ia menarik rambut seorang perawat untuk memaksanya memeriksanya. Di sisi lain, seorang anak kecil meninggal tepat ketika dokter Amine baru saja hendak memerikasanya. Seorang korban yang tak dapat ditangani oleh seorang perawat, diserahkan pada dokter Amine. Begitu mendengar namanya disebut oleh sang perawat, si korban memberontak "Saya tak mau diperiksa oleh seorang Arab, jangan sentuh saya". Ia bahkan tak lupa meludahi sang dokter, tentu saja ludah yang dikeluarkan oleh orang yang dalam posisi tertidur akan menjatuhinya kembali layaknya bumerang. Total hari itu, banyak pasien yang berhasil diselamatkan oleh Amine, tapi beberapa orang tak dapat diselamatkannya. Kim tak jauh berbeda, tak kurang dari tiga orang korban meninggal tak dapat ditolongnya.

Hari itu menjadi demikian melelahkannya, dan setelah hampir saja seorang korban tak dapat diselamatkannya, ia memutuskan untuk pulang ke kediamannya. Sihem, istrinya, tak menyambutnya hari itu, ia sedang mengunjungi kakek neneknya. Tak lama setelah ia tiba di rumahnya, seorang inspektur polisi meneleponnya untuk kembali ke rumah sakit. Di rumah sakit ini, ia diberi tahu tentang kabar meninggalnya Sihem oleh bom bunuh diri hari itu. Lebih buruk lagi ...
adalah Sihem sendirilah pelaku bom bunuh diri.

Yasmina Khadra, penulis novel, menuliskan cerita ini dalam bukunya L'Attentat atau Penyerangan dalam bahasa Indonesia. Ia memutuskan untuk memulai cerita dari situ. Ia menulis bagaimana Amine pada awalnya tak dapat menerima kenyataan bahwa istrinya adalah pelaku bom bunuh diri. Kemudian, ia melanjutkan evolusi Amine yang kemudian merasa tak mengerti bagaimana istrinya yang tinggal bersamanya, serba keberadaan, mampu melakukan aksi pembunuhan anak-anak yang tengah merayakan ulang tahun. Sampai usaha Amine untuk mencari tahu sebab prilaku Sihem.

Sayapun mengikuti kisah Amine ini langkah demi langkah. Kisah perjalanannya ke Bethlehem untuk mencari tahu, kesulitannya menemui seorang imam di sana, sampai akhirnya diskusinya dengan salah seorang komandan perang setempat. Kisah demi kisah, pertemuan demi pertemuan, perubahan demi perubahan dalam diri Amine. Perjalanannya ke sisi lain (ke Palestina), ditemani oleh sahabat setianya, seorang dokter perempuan Yahudi, Kim, didukung oleh inspektur tinggi polisi Israel... demikian menariknya membuat saya hanya butuh dua hari untuk menyelesaikan buku bertebal 268 halaman ini.

Saya semakin sadar bahwa masalah di lingkungan konflik itu sedemikian konfliknya, dan bahwa seorang wanita yang melakukan bunuh diri di restoran fast food tempat anak-anak belasan tahun merayakan ulang tahun, adalah sebuah masalah kompleks yang tak mudah untuk dilihat begitu saja dari luar.

L'Attentat saat ini dinominasikan untuk meraih hadiah sastra di Prancis, salah satu yang paling bergengsi, atau mungkin yang paling bergengsi, Prix Goncourt 2005. Saya merasa karya ini layak untuk dapat penghargaan semacam itu, tapi tentu saja saya harus baca karya-karya lain yang juga dinominasikan....

0 Comments:

Post a Comment

<< Home